Kamis, 29 September 2011

SINETRON INDONESIA: DUNIA MONOKULTUR

Waktu musim cinetron dengan judul cinta-cintaan: Cinta, Cinta Ini Cinta Itu dll., kami sekeluarga sering ketemuan kepentingan nonton. Sebagian ada yang ingin nonton Cinta ini, sebagian Cinta itu, sebagian Liga Inggris, sebagian ... dst. Ramai sekali rumah kami meski hanya berisi lima jiwa. Saking seringnya ketemuan begitu, sesekali kami saling lirik isi tontonan Sang Jendral Remote malam itu. Ada yang menggelitik sewaktu menyaksikan sinetron Cinta Fitri. Ya, minimal saat saya nonton. Mudah-mudahan saat saya tidak nonton ada orang Hindunya, Budhanya, Kristennya, Katoliknya, bukan satu agama saja. Yaa  ... gimana, ya. Janggal ajalah. Bayangkan, cerita dengan setting Indonesia yang multikultur dipaksakan monokultur. Iya, baik tokoh maupun nuansanya semua sangat satu agama, MONOKULTUR! Dan, ketika memerhatikan sinetron lain, tidak jauh berbeda alias beda-beda tipis monokulturnya. Apa pasal? Ini dia kira-kira ...
  1. Sinetron yang ditayangkan setiap hari di prime time pasti bersifat kejar tayang (striping) yang mengharuskan tim kreatifnya tidak sempat melakukan riset sehingga saat develop cerita mereka cuman memikirkan cepat selesai. 
  2. Hasil riset yang seabreg kadang-kadang hanya dipakai bagian generalnya baik itu stereotype atau stigmatisasi. Yang stereotype, kalau Jawa ya berblangkon, baju lurik, kebaya ala kadarnya, ngomong kedesa-desaan. Kalau Batak ya horasnya, bah-nya, lengkap dengan ucok dan butetnya. Kalau Ambon ya intonasi tarikan di akhir kata/kalimat, dan lain-lain. Stigmatisasi, ya kalau Batak pasti preman, kalau Jawa pasti pembantu, kalau Betawi pasti bloon, kalau ... dst. Padahal itu semua -stereotipe dan stigmatisasi- salah muluuuu ... Tapi, ya, ketika menuliskan perwatakan, treatment, dan develop srcriptwriter kan ada di balik meja. Masih muda dan bekerja sendiri nun jauh di apartemen nan steril dari realitas sosial demi produktivitas hari itu. Kalau skenario gagal ditulis, pecat ...
  3. Produsen yang mau main aman saja. Sinetron terjajah oleh industrialisasi budaya populer yang mengabaikan realitas sosialnya. Atas nama 'dari pada salah tafsir atas agama dan budaya lain' maka pemaksaan  (baca: pemerkosaan) realitas soial dan eksploitasi budaya sendiri dijalani. Kalau Gayus menyelewengkan uang pajak disebut koruptor, Kalau PNS menyia-nyiakan waktu kerja produktifnya disebut koruptor, maka kalau scriptwriter memerkosa realitas liyan dan mengeksploitasi budaya sendiri sesungguhnya .... (hii, isi sendiri. Takut dimarahi Mbak Luvie Melati di Serunya! Screenwriter sana).
  4. Penayang lebih berat ke sisi bisnis (tontonan) dari pada ke tanggung jawab moral (tuntunan). Ketika sudah aman dengan monokultur tertentu dan laku dijual, buat apa capek-capek menambahkan kultur lain yang berpotensi merusak bisnis. Penayang sering dihadapkan the invisible pressure yang sangat destruktif dari pada teror bom bunuh diri. Bagi SCTV (kemudian Indosiar) yang saat itu menayangkan Cinta Fitri pasti menimbang dengan cermat kalau mau memaksakan masuknya Pendeta dalam cerita jika tidak ingin dicap adanya KRISTENISASI melalui sinetron. Nah di Indonesia ini, bukankah kata KRISTENISASI itu begitu menakutkan sehingga untuk ditulis saja resikonya segudang.
  5. Budaya riset mendalam dianggap memperberat biaya produksi. 
  6. Rendahnya nasionalisme stakeholder industri sinetron. Apakah adagium 'bsinis tidak saling berhubungan signifikan dengan nasionalisme' dipeluk secara buta, kita tidak tahu tetapi nyatanya kemauan mengedepakankan nilai-nilai nasionalisme (yang termudah mengangkat multikulturalismen) saja sinetron kita (baca: Indonesia!) enggan (dengan berbagai alasan dan argumen yang bisa mereka kemukakan). Nasionalisme dan bisnis sinetron seakan berada di ruang yang berbeda nun jauh tak terukur. Memang atribut nasionalisme bisa muncul di sekitar bulan Agustus, tetapi sangat dangkal dan periferial serta artifisal. 
  7. Tidak adanya lembaga pemberi sertifikasi bagi scriptwriter. Seandainya untuk menjadi scriptwriter seseorang diharuskan memiliki sertifikat yang mengusung kurikulum sertifikasi nasionalisme, pluralisme, kebudayaan lokal, kontekstualisasi, PKLH, ketahanan negara, psikologi sosial, dasar-dasar sosiologi, dll. maka mungkin wajah sinetron kita agak lain barangkali, ya.
  8. 'Mr. Modal' is the boss, Mrs. Rating is the Bigboss'. Jika satu sinetron seharga Rp. 600 jutaan maka tentu cerita harus menghambanya. Modal dan Rating are the highgest rulling . Semua harus tunduk kepada modal dan rating. Dalam benak produsen dan penayang sinetron ada kata suci, 'dari pada sinetron bernilai tuntunan tetapi tidak laku, lebih baik ... '. Taruhannya Rp. 600 juta, men. Dan, hengkangnya pemasang iklan yang memiliki mata tajam di lembaga pemeringkat.
Dan masih banyak lagi sebab mengapa kaca mata kuda merk monokultur terpaksa atau dengan sengaja dipakai para produsen dan penayang sinetron kita. Lha konsumennya? Kura-kura dalam perahu, ya jelas sangat berparadigma monokultur dong wong jelas-jelas mereka yang menikmati tontonan itu. Kalau tidak ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar