Kamis, 27 Oktober 2011

BALADA I NYOMAN MINTA, WNI YANG TAK KENAL SBY

Mianto Nugroho Agung

Kejadian aneh tapi langka baru saja kita saksikan: seseorang tua renta berseragam hijau-hijau digelandang aparat NKRI yang berpakaian preman. Aneh, sebab sang kakek pasti bukan 'musuh' yang terlalu kuat untuk pasukan pengamanan kunjungan RI-1. Aneh, sebab kejadian itu ditayangkan secara telanjang oleh TV dan diulas luas oleh media massa sampai-sampai Kapolda Bali I Made Mangku Pastika meminta media untuk tidak membesar-besarkan masalah ini. Langka, karena pengamanan kunjungan RI-1 yang mencapai 3 lapis/ring bisa ditembus oleh seorang kakek tua renta. Penggede aparat menyatakan petugas pengamanan lengah karena menengadah melihat materi atraksi saat itu. Itu belum apa-apa, sebab kakek I Nyoman Minta belakangan mengaku tidak tahu ada acara besar yang melibatkan presiden. Lebih lagi dan lagi, kakek kita ini menyatakan tidak mengenal SBY yang presiden Indonesia ini. Dari peristiwa ini dapat ditelaah beberapa hal. Bukan bermaksud menyalahkan.
  1. Pertama, pihak hotel patut diduga tidak memberikan sosialisasi program kunjungan itu secara menyeluruh kepada seluruh pihak yang menjadi tanggung jawabnya hingga pegawainya tidak tahu ada acara besar melibatkan presiden RI.
  2. Kedua, soal 'tak kenal Pak Beya itu', seharusnya menjadi bahan permenungan dan refleksi kita bersama. Ada problem serius bukan jika seorang setua kakek itu tidak kenal presidennya?
  3. Ketiga, secara politis, ada semacam lubang besar yang memisahkan rakyat dari elit negaranya. Apapun alasannya. Politikus harus tertegur dengan adanya peristiwa ini dan menjadikannya bahan evaluasi untuk lebih mendekatkan diri ke rakyat.
  4. Keempat, perlu evaluasi mendasar terhadap sistem, strategi, dan taktik pengamanan petinggi NKRI lebih-lebih presiden sehingga tidak disalahgunakan oleh teroris. 
  5. Kelima, pemberdayaan media dan pola relasional antara media dan pemerintah perlu lebih baik sehingga sosialisasi program pemerintah melalui pemberitaan yang proporsional bisa terjadi.
  6. Akhirnya, keenam, kurikulum pendidikan formal Indonesia perlu introspeksi dan berbenah diri untuk kembali menumbukan pengenalan sedalam-dalamnya aspek-aspek penting dari NKRI oleh para siswa dan mahasiswa. Kali ini yang tidak dikenali adalah SBY, lain kali NKRI!

Minggu, 23 Oktober 2011

"Thomas-Thomas" Masa kini

Mianto Nugroho Agung

Sabtu (22/10, 2011) tetangga belakang rumah meninggal dunia karena hepatitis C positif. Keruan saja kami mengurus ini itu sampai siap begadang menemani tuan rumah. Nah, dalam begadang itulah sering muncul keaslian tetangga-tetangga kita yang mengejutkan. Kalau selama ini ketemuan hanya sesaat dan tegur sapa sekadarnya, maka dalam forum begadang yang durasinya dari jam 21.00 - 04.00  itu sudah pasti dibutuhkan segudang kata-kata untuk melepas kantuk. Nah, dalam begadangan Sabtu malam kemarin, berloncatanlah kata-kata itu dari kami masing-masing. Ya, macam-macam topiknyalah: SBY yang tidak bisa memberi harga sembako murah, tentara yang semakin berat tugasnya, sulitnya mengikuti sidang tilang, tetangga yang selingkuh, teman yang jatuh, rakyat yang akomodatif terhadap tst alias 'damai kaus'  sampai ke soal beberapa tetangga sejemaat dengan saya yang belakangan malas ke gereja apa lagi mengikuti acara-acara keagamaan. Sebagai majelis gereja mereka, saya memiliki kewajiban mengetahui apa alasan mereka. Memang selama ini telah kami lakukan berbagai upaya mendekati dan menyadarkan mereka akan pentingnya aktif begereja dalam hidup beragama Kristen. Malam itu masing-masing memberi alasan yang kurang lebih sama, yang dikemukakan dalam ilustrasi menyesatkan: seorang pendeta yang tidak pernah minum dan mabuk seharusnya minum dan mabuk sebelum kotbah tentang 'jangan mabuk'. Orang kedua berkata, "Jangan hanya pandai berteori sebelum menjalani. Jangan melarang saya berjudi sebelum tahu seluk beluk judi." Dan, yang terakhir mengatakan bahwa temannya seorang tokoh agama lain yang bermaksud mengingatkan jemaatnya untuk tidak jatuh ke perselingkuhan komersial. Untuk menguatkan kotbahnya, tokoh itu pergi ke lokalisasi dahulu. Seorang Kristen lainnya, bukan sejemaat dengan kami berempat, menyatakan bahwa semua orang di Indonesia sudah sama-sama buruk, apa bisa gereja mengubahnya? "Buktinya, sampai saat ini gereja tidak bisa berbuat apa-apa!"
Nah, ketika saya tunjukkan analogi ilustratif 'untuk menunjukkan bahwa setiap orang bakal mati bukankah pendeta tidak perlu mati dahulu, untuk mengingatkan agar hati-hati berkendaraan agar tidak celaka kan tidak perlu celaka dahulu, untuk mengetahui bahwa api panas kan tidak perlu membakar diri atau setidak-tidaknya menyundut diri dengan rokok nyala, bukan' barulah mereka mengangguk-angguk. entah apa maksudnya. Praktik keberagamaan demikian merupakan tipe empirik yang memperlakukan agama seperti ilmu pengetahuan empirik. Menjalankan laku bergama a la Thomas si murid Yesus yang baru akan percaya jYesus telah bangkit dari kubur ika sudah mencucukkan tangannya di luka Yesus. Syukurlah belakangan Thomas berubah pikiran meski tidak kesampaian mencucukkan tangannya ke luka Yesus. Bagaimana mungkin jemaat menuntut pendetanya mati dahulu, mabuk dahulu, selingkuh dahulu, celaka dahulu sebelum berkotbah tentang hal-hal semacam itu? Inilah Thomas-Thomas masa kini yang saya maksudkan. merek aumumnya sok ilmiah dan pro-empirisme beragama. Janganlah kesombongan diri sebagai yang terpandai mengganggu proses menjemaat dan menggereja kita dalam hidup keberagamaan kita. Ada hal-hal lebih tinggi dan kudus dalam kehidupan beragama dan karena itu tiak empiris. Masalahnya, anda berminat manjadi anggota Thomas-Thomas masa kini? Rekrutmen keanggotaan dibuka lebar oleh Lucifer yang kebingungan hendak menghapus postingan tulisan ini ... "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." (Yohanes 20:29b).

Kamis, 20 Oktober 2011

Occupy Wall Street Jadi Kunci Kotak Pandora

Mianto Nugroho Agung

Occupy Wall Street (OWS)  adalah sebuah gerakan massa grassroot di Amerika Serikat dalam berbagai bentuk: demo, pendudukan asset bursa effek Amerika Serikat, penggalangan opini, dll. Gerakan ini diinspirasi oleh kenyataan bahwa hanya 1% orang saja yang menerima manfaat kebijakan keuangan negara dan mengorbankan 99% lainnya. Krisis ekonomi yang dahsyat diyakini akan dialami AS untuk pertama kalinya setelah didahului oleh beberap a negara di Eropa (Yunani, Swiss, Denmark, dll.). Krisis dianggap bakal lebih dahsyat dari tahun 2008 karena yang terancam bangkrut bukan lagi perusahaan transnasional melainkan pemerintahan. Mengingat fakta "1% mengabaikan 99%" sangat tidak kristiani (ingat Yesus yang mencari seekor domba yang hilang dari 100 domba kumpulannya?), mengancam eksistensi manusia dan peradabannya, dan membahayakan publik, maka OWS langsung menginspirasi dan memotivasi terjadinya gerakan yang sama  di mana-mana di seluruh penjuru dunia. Pelajaran berharga yang seharusnya dipetik adalah betapa tamaknya 'Tuan Satu Persen' itu, betapa bodohnya pemerintahan yang hanya mengabdi "Tuan Satu Persen' itu, dan "betapa rapuhnya ikatan si Tuan Sembilan-sembilan Persen". Apa agenda gerakan perjuangan OWS yang lebih 'bijaksana'? Mari kita usulkan ke mereka jika sudah kita temukan. BTW, bukankah kita ternyata adalah bagian dari "Tuan Sembilan-sembilan Persen" itu, ya? Ya, setidaknya sampai terbukti kalau kita ternyata bukan bagian dari si Tuan 99% itu!

Jurnalisme Transaksional dalam Berita "SBY plesir di Lombok"

Mianto Nugroho Agung

Meski tidak semua yang 'transaksional' itu berkonotasi negatif, namun ketika ia dipadukan dengan kata lain sehingga menjadi 'politik transaksional', 'begereja secara transaksional', 'partai transaksional', kata itu memang betul-betul langsung bisa menunjukkan makna negatip. Bagaimana jika menjadi 'jurnalisme transaksional'? Sebagai paham pemberitaan yang seharusnya jujur, berpihak pada fakta, dan netral maka kata jurnalisme bukanlah ideologi maupun ideologis melainkan paham dalam arti sebenar-benarnya. Dan, ketika menjadi 'jurnalisme transaksional' maka jatuh ke dalam makna, hakekat, dan filosofi 'dagang' murni alias mencari untung mulu. Jurnalisme transaksional dengan demikian paham pemberitaan yang hanya 'melayani' dan berorientasi pada pasar dengan segala pengertiannya. Saat pasar menuntut berita sumir, gosip, dan 'ursuan domestik' mulu, maka semua media massa mengemas beritanya menjadi demikian. Maka, ketika SBY yang sebenarnya pergi ke Lombok untuk meresmikan Bandara Internasional baru di sana dan bertemu secara informal dengan petinggi Malaysia lalu di sela-sela itu mengunjungi pantai, yang dieksploitasi hanya kunjungan ke pantai-nya saja. Inilah transaksionalnya! Salahkah? Ha3x ...

Senin, 17 Oktober 2011

Indonesia (Bisa) Selamat!

Mianto Nugroho Agung


Jum’at (30/9) Wilardjo mengakhiri diskusi mahaberat dan radikal bulan September tentang topik Landasan Ilmu Pengetahuan melalui artikel ‘Sains Dasar’ di Kompas. Diskusi  dibuka Mart (5 dan 24/9). Namun, kata Wilardjo, Hidayat juga melibatkan diri. Sebenarnya Joesoef  (7/9), Aulia (21/9), dan ASP (29/9) juga membahas, melaporkan, dan mengiklankan hal ihwal topik ini.

Temuan dan Maknanya
            Menurut Suriasumantri (2003, h.105) terdapat tiga landasan ilmu: Ontologi (mengenai apa), Epistemologi (mengenai bagaimana disusun), dan Aksiologi (untuk apa) ilmu disusun. Secara axiologi Joesoef mengatakan kesejahteraan bangsa tak kunjung dinikmati rakyat Indonesia, karena itu ia menyalahkan sivitas akademika karena ‘tidak menunaikan tugas khas dan kekaryaannya yang spesifik, yaitu tak peduli pada masalah krusial bangsa dan abai pada pembentukan komunitas ilmiah’. Mart (melalui Selamatkan Indonesia) mengingatkan ‘Indonesia mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan’. Dan, karena itu –tegas Mart- Indonesia menuju kehancuran peradabannya. Maka sinyal SOS diserukannya: Selamatkan Indonesia!. Aulia melaporkan hasil Forum Dialog Kebijakan Internasional dari Task Force  on Theachers for Education for All di Bali (13-14/9) yang menyimpulkan pendidikan untuk semua bakal gagal terwujud pada 2015 karena ‘kualitas dan kuantitas guru tidak merata di antara daerah’. ASP menulis paparan badan PBB tentang Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia yang ‘hanya’ berada di peringkat 69 dari 127 negara. Artinya terjadi pengeroposan proses pendidikan di Indonesia. Wilardjo ‘mengunci’ dengan menyatakan perlunya memberi prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam gerakan pembangunan infrastuktur sains.
            Makna temuan itu, peringatan keras dan tuntutan agar seluruh stakeholder keilmuan Indonesia segera melakukan konsolidasi untuk menguatkan dan membangun ‘sosok’ keilmuan Indonesia yang sinergis dan visioner. Di wilayah Aksiologi, temuan itu dapat dibedakan menjadi: pertama, fakta bahwa kontribusi ilmu belum dirasakan masyarakat secara signifikan. Kedua, kehancuran peradaban Indonesia potensial akibat kemunduran ilmu pengetahuannya. Ketiga, kemunduran ilmu pengetahuan Indonesia antara lain diakibatkan oleh sivitas akademika yang tidak menunaikan tugas khas dan kekaryaanya yang spesifik, tidak adanya komunitas ilmiah Indonesia yang solid dan bermutu, kualitas dan kuantitas pengajar tidak merata di setiap wilayah, dan rendahnya Indeks Pembangunan Pendidikan di Indonesia. Keempat, perlunya memberi prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam gerakan pembangunan infrastuktur sains.
            Temuan yang digelontorkan Kompas sepanjang September itu sangat mengejutkan sekaligus memrihatinkan, di satu sisi. Dan, kontribusi media yang luar biasa bagi bangsa ini, teristimewa di bulan September yang berisi Hari Pers Nasional, di sisi lain, sangat mendidik. Bangsa yang pernah menjadi tujuan belajar bangsa-bangsa Asean ini kini begitu terpuruknya. Bagi awam, semua temuan itu benar-benar di luar dugaan meski selama ini mereka tahu betapa besarnya jarak antara mereka dan para ilmuwan. Lebih-lebih ilmuwan yang membenamkan diri ke dalam riset eksperimental atau laboratorium dan ilmuwan yang giat mengembangkan ilmu. Awam seakan ditinggal bahkan ditelikung di titik paling menyakitkan karena ilmuwan tidak kunjung memberikan sumbangsih penad bagi kesejahteraan rakyat. Lebih-lebih, banyak ilmuwan yang meninggalkan tanggung jawab mereka dengan terjun ke dunia praktis pragmatis atas nama entah, yang sulit dipahami rakyat. Tak seperti yang diduga, temuan itu sekaligus membuka mata dan bathin rakyat betapa ternyata ambruknya ilmu pengetahuan bisa menyebabkan ambruknya sebuah bangsa.
            Pada titik ini tentu sangat kerdil, sia-sia,  dan kontraproduktif jika saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Proses penyadaran telah bergulir dan bakal menyentuh semua elemen dasar. Itu bisa berarti dua hal: pesimis dan optimis terhadap masa depan Indonesia. Karena itu, kita harus sepakat proses kehancuran peradaban Indonesia merupakan masalah kita bersama yang harus dicarikan solusi oleh semua elemen bangsa. Pesimis, karena sebagai bangsa, Indonesia jatuh menjadi bangsa tak berharga di antara bangsa lain yang dunia ilmunya begitu tinggi dan berkembang. Optimis, jika semua temuan tadi menjadi cambuk untuk lebih giat memerbaiki diri demi menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Pilihan harus segera dilakukan. Hanya sekali memilih dan tanpa titik balik. Syukurlah jika kita memilih optimis, setidaknya seperti yang tersirat diinginkan Hidayat, Mart, Joesoef, ASP, dan Aulia serta sebagian pihak yang memahami arti strategis pengembangan ilmu.

Titik Pangkal
Dalam dunia Filsafat Ilmu dan Logika Formal, titik pangkal merupakan indikator penentu pengambilan keputusan tepat. Karenanya pemeriksaan kebenaran titik pangkal wajib dilakukan. Titik pangkal musibah kemunduran peradaban Indonesia juga harus dicari dan diuji untuk mengetahui akar masalahnya. Secara subyektif dapat saja sembarang elemen atau subyek dipilih: ilmuwannya, universitasnya, pemerintahnya, sistemnya, infrasturkturnya. Atau secara bersama ditetapkan sebagai titik pangkal yang harus dipecahkan. Penulis melihat titik pangkal yang potensial –tanpa berpretensi menyalahkan dan melempar tanggung jawab- diberdayakan adalah kurikulum dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kurikulum pendidikan tinggi Indonesia jelas sangat pragmatis dengan kecenderungan mengondisikan mahasiswa pada  pilihan melayani dunia kerja. Itulah sebabnya visi kuliah mahasiswa adalah kerja (kantoran kalau bisa). Mahasiswa menyibukan diri berbenah menjadi tenaga kerja. Sehingga, terasingkan dari eksistensinya yang lain yaitu sebagai pengembang dan pengamal ilmu. Maka langkah awal mengurai masalah ini adalah dengan menata ulang kurikulum Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) dengan memberi pembobotan lebih besar pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Logika, Kemampuan Berbahasa, Metodologi Penelitian, dan Teknik Penulisan Ilmiah. Tenaga akademik, kepustakaan, akses ke sumber, dan fasilitas penunjang lainnya harus ditingkatkan. Paradigma proses belajar mengajar harus lebih konstruktivistik ketimbang yang behavioristik. Minimal kombinasi antara kognitifistik, sosialistik dan humanistik agar mahasiswa tidak sekadar belajar tetapi tahu cara belajar. MKDU harus benar-benar menjadi fondasi yang memerkokoh bangunan keilmuan dan penggerak semangat belajar mahasiswa. Tujuan ultimanya, mahasiswa memiliki kesadaran tentang makna kuliah: melayani dunia kerja, mengembangkan ilmu, dan mengabdi kepada rakyat.
            Karena kita sepakat kehancuran peradaban Indonesia harus kita atasi bersama, maka, seluruh elemen bangsa Indonesia harus bersinergi saling memberdayakan diri dengan lebih peduli dan giat kepada setiap usaha pembangunan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu. Riset mendalam dan beragam, publikasi karya ilmiah dan buku yang gencar, dan pengabdian masyarakat yang intensif harus seiring sejalan dengan penguatan melalui MKDU. Pemerintah, dunia usaha, rakyat awam, dan ilmuwan wajib menetapkan kebodohan (bidang ilmu) menjadi musuh bersama.
            Akhirnya, di sela-sela kenyataan begitu buram dan muramnya dunia ilmu Indonesia sehingga mengancam eksistensi Indonesia, masih juga ada secercah cahaya: Kompas melansir peringkat Perguruan Tinggi Indonesia yang –puji syukur- menunjukkan perbaikan pada beberapa universitas!
                                                                                                            
Pertanyaan Sisa
  1. "Kebenaran' sebagai tanda-tanda atau gejala-gejala seperti apa yang Anda lihat dari  begitu banyaknya kenyataan yang menunjukkan Indonesia menuju  kepada 'ambruknya peradabannya sendiri" seperti yang diramalkan Terry Mart?
  2. Bagaimana cara "Filsafat Ilmu & Logika" membantu menyelamatkan Indonesia?
  3. Apa peran yang seharusnya dilakukan/dimainkan oleh mahasiswa sebagai bagian dari kelompok kelas menengah di Indonesia untuk menyelamatkan negara mereka?
  4. Secara aksiologis, rakyat dianggap tidak dipedulikan ilmuwan, bahkan rakyat dibiarkan menderita sendirian. Nah, apa yang sebenarnya harus dikerjakan filsuf atau ilmuwan agar rakyat merasa kembali dipedulikan?



            Mianto Nugroho Agung, Pengajar di Fakultas Psikologi UKSW dan di STT Abdiel, Penyusun buku ‘Filsafat Ilmu dan Logika’.

Pelayanan Kreatif, Menjawab Tantangan Gereja Indonesia Masa Kini

Mianto Nugroho Agung

Tantangan Gereja di Indonesia Masa Kini

Jika harus membagi, tantangan gereja di Indonesia masa kini adalah yang berasal/bersifat internal dan eksternal. 
1. Secara internal, gereja dihadapkan kepada persoalan pokok seperti 
  • a) organisasi pemerintahan gereja yang rentan konflik, 
  • b) manajemen pelayanan gereja yang tidak/kurang 'profesional', 
  • c) sistem kaderisasi yang lemah, 
  • d) konsolidasi yang tidak/kurang  intensif, 
  • f) bergesernya motif keberagamaan jemaat pada umumnya, dan 
  • g) tafsir yang tidak kontekstual dan implemetasi firman Tuhan yang tidak efektif. 
2. Secara eksternal gereja di Indonesia dihadapkan pada persoalan pokok seperti 
  • a) ketidakjelasan produk hukum formal negara dalam kehidupan beragama, 
  • b) pola relasional antargereja yang cenderung kontraproduktif, 
  • c) lack of education rata-rata pemeluk agama di Indonesia, 
  • d) ketidakhadiran negara dalam problem kehidupan agama-agama di Indonesia, 
  • e) paradoks 'sumbu pendek' massa dan hebatnya strategi provokasi dan terror fundamentalis, 
  • f) berkurangnya wibawa agama-agama di dunia.

Pelayanan Kreatif

Pelayanan Kreatif merupakan alternatif solusi yang mengandaikan dua hal, yaitu: a) asset internal gereja cukup memadai untuk didayagunakan guna mengatasi berbagai tantangan tersebut dan b) asset eksternal nyata-nyata tidak signifikan lagi didayagunakan meski telah dilakukan penyesuaian, rekayasa, dan pengembangan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Secara historis, gereja pernah menyandarkan diri pada asset eksternal namun ternyata tidak cukup membantu mengatasi tantangan. Misalnya, ketika gereja menjadi agama negara, ketika teologi mengsubordinasi filsafat, ketika gereja sangat mengandalkan anasir eksternal (partai, perusahaan, orang kaya, dll.). Meski asset eksternal tidak harus ditinggalkan sepenuhnya, namun menggantungkan diri kepadanya akan sangat riskan. Relasi yang terlalu akrab dengan asset eksternal akan rawan mengundang tuduhan miring terhadap gereja. Berbeda jika usaha menjawab tantangan itu dilakuakn dengan eksplorasi, reaktulaisasi, dan empowering asset internal. Saat tujuan tercapai pasti tidak akan mengundang penilaian-penilaian sumir. 
Mengacu pengertian 'pelayanan' dan 'kratif/kreatifitas', Pelayanan Kreatif dimaksudkan sebagai "usaha memberikan bantuan untuk mereka yang kurang mampu atau tidak mampu dengancara-cara yang kurang bahkan tidak tradisional/konvensional". Misalnya, jika dahulu kotbah selalu monolog, kini harus interaktif, jika dulu tugas misi selalu dibebankan kepada misionaris (rohaniwan) kini harus menjadi tanggung jawab bersama warga gereja, jika dulu pendetasentris dalam kehidupan jemaat kini harus berubah, jika dulu gereja sekadra sebagai pusat aktivitas kerohanian Kristen kini harus menjadi pusat-pusat kerohanian plus-plus, dan lain-lain.
Gereja-gereja harus duduk bersama mendiskusikan dan memutuskan untuk menerapkan Pelayanan Kreatif dalam kehidupan mereka secara bersama-sama dan serentak. Ibarat membasmi wereng, jika tidak serentak maka wereng hanya berpindah-pindah tempat saja. Problem  gereja di Indonesia masa kini dan ke depan sangat kompleks, berat, dan tak terduga. Dibutuhkan konsolidasi stake holder-nya agar kinerja mereka menguat dan membaik tidak saja secara rohani namun juga secara lainnya.
Pelayanan Kreatif menuntut dan mengharuskan terjadinya perubahan mental, sikap, dan perilaku serta tradisi yang kontraproduktif. Artinya, atribut gereja yang memberati laju transformasi gereja harus berubah/diubah. Gereja yang menganggap Sekolah Minggu adalah pelayanan sampingan, rasio rohaniwan dan jemaat awam rendah, mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas tertutup, mengabdi pada liturgi dan doktrin apalagi mitos secara buta, dan lain-lain adalah gereja-gereja yang tertutup bagi implementasi Pelayanan Kreatif. Gereja-geraja demikian harus menjalani transformasi (kurang lebih lahir barulah) agar tidak terkungkung oleh anggapan kemapanannya sendiri, membuang kaca mata kudanya, menguak tempurung persembunyiannya, baru kemudian menginderai hal-hal baru yang telah menjadi setting hidupnya. Gereja harus senantias segar agar cukup energi menjalani kehidupannya secara baru dan pelayana kreatif mendapatkan tempat yang sesuai.

Nah, pertanyaan untuk kita pecahkan segera adalah: 
  1. Apa saja bentuk-bentuk (contoh-contoh) konkret yang bisa kita identifikasi dari masing-masing tantangan internal dan eksternal di atas?
  2. Bagaimana cara melakukan perubahan mental, sikap, dan perilaku serta tradisi gereja yang kontraproduktif bagi implementasi Pelayanan Kreatif?
  3. Bagaimana cara mentransformasi gereja. agar tidak terkungkung oleh anggapan kemapanannya sendiri dan melalui transformasi itu bisa menghasilkan gereja yang membuang kaca mata kudanya, menguak tempurung persembunyiannya, baru kemudian menginderai hal-hal baru yang telah menjadi setting hidupnya?
  4. Akhirnya, untuk menunjukkan keseriusan kita, buatlah 'PROPOSAL PELAYANAN KREATIF' yang sangat mungkin dijalankan di gereja Anda.

Kamis, 06 Oktober 2011

DICARI, PETUGAS PENYULUH PERPONSELAN INDONESIA (P3I)

Mianto Nugroho Agung

Dari segi kecepatan pemerataan teknologi, bisa dipastikan jika kepemilikan HP alias ponsel menempati urutan pertama. Sepuluh tahun lalu HP masih merupakan barang mewah yang tidak sembarang orang bisa memilikinya. Kini siapapun bisa memiliki bahkan lebih dari satu. Tak ayal jika bisnis ikutan di sekitar bisnis HP ini ikut memuncak. Bisnis cover HP, akesosris  HP, Pulsa, Nomor cantik, RBT, dan lain-lain marak dalam kecepatan yang luar biasa. Sekarang orang benar-benar memasuki era borderless society sepertiyang pernah dipikirkan Kenichi Ohmae. Orang-orang dengan mudah terhubung satu sama lain, jarak diperpendek, komunikasi dipermudah. Sayang sekali situasi itu juga mengundang anak-cucu ular yang mencari untung dengan jalan buruk. Banyak pihak yang mengeluh dan mengadukan akalau dirinya jadi korban penipuan dari drakula pulsa. Hal itu karena kenudahan pemilikan HP tidak dibarengi model, metode, dan mekanisme hukum yang menguntungkan konsumen HP. Kalau bertanya mengenai HP-mereka, mereka hanya mengarahkan diri ke pihak yang diragukan kapasitasnya. Nah, agar pemili HP memahami, barang kali perlu dirormasikan jenis pekerjaan baru yaitu 'Petugas Penyuluh Perponselan Nasional'. Petugas ini harus mampu menyadarkan rakyat akan arti promo perusahaan konten yang selama ini bergentayangan. Bandingakn dengan adanya PPL (penyuluh Pertanian Lapangan), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dll. Ayooo ... .

SEGERA, KOMNAS KONTEN NAKAL (DRAKULA PULSA)

Mianto Nugroho Agung

Setelah digempur pialang lombok, penggoreng harga sembako, dan bandar transport mudik-balik lebaran,  serta rentetan kecelakaan transportasi, kini NKRI diguncang drakula pulsa! Sepanjang pertengahan 2011 ini banyak pemilik HP yang pusing tujuh keliling akibat pulsa mereka tersedot perusahaan konten. Iming-imingnya beasiswa RP 2,5 juta per minggu, pulsa gratis Rp. 50 ribu, up date informasi mengenai konten yang ditawarkan, sampai kibulan kecelakaan sanak keluarga. Kalau sudah terjebak dengan cara menjawab kelakar, mengumpat, bahkan marah, pasti dijamin sulit unreg alias membatalkan diri. Di akhir September, dibentuk pos-pos pengaduan korban drakula pulsa ini nun di Jakarta sana dan langsung kebanjiran pengadu. Diperkirakan dana yang disedot si drakula itu mencapai Rp. 100 milyar sebulan! Fantastis. Dibanding dana yang dikorupsi oleh koruptor yang sedang diurus KPK, penanganan dana pulsa ini sungguh harus diprioritaskan oleh pemerintah. BTW, memang mendesak dilakukan upaya penanggulangan agar ekonomi rakyat berdaya beli pulsa Rp. 10 ribu tidak semakin ambruk. Apa perlu dibentuk Komnas Konten Nakal , ya ...

Rabu, 05 Oktober 2011

LOWONGAN KERJA YANG SULIT DITEMBUS: ANEH TAPI NYATA

Hampir setiap Sabtu saya memerhatikan betapa banyaknya lowongan yang diiklankan di media massa nasional. Bahkan kadang sampai delapan halaman penuh yang terdiri dari ribuan posisi baru yang 'lowong' dan ditawarkan untuk diisi. Saya juga menyaksikan betapa acara-acara job fair yang diselenggarakan dengan tiket masuk mahal apa lagi yang gratis selalu dipenuhi pelamar kerja dan tentu saja pencari pekerja. Dan, kita ketahui pula bukan betapa banyak orang yang masih menganggur (dalam arti tidak bekerja penuh dan berpenghasilan).?Pertanyaan saya, apakah yang salah? Apakah di pencari kerjanya yang dianggap terlalu buruk. Atau, di pencari kerjanya yang narsis dan kauvinis? Masak ada lowongan dan ada yang bisa dimasukkan tetapi malah keduanya tidak pernah bisa cocok? Ane ajalah.

ILMUWAN MUDA INDONESIA BUTUH TALENT SCOUT!

Fakta bahwa banyak anak muda Indonesia yang mampu menunjukkan prestasi di dunia ilmiah melalui LKIR mennganduk makna bahwa potensi SDM Indonesia sangat besar bahkan telah menjadi kenyataan. Di sisi lain, ada dua fakta yang memrihatinkan, pertama, pembajakan produk karya ilmiah ilmuwan muda Indonesia itu. Dan, kedua, fakta bahwa pemerintah tidak atau kurang menghargai karya merek melalui lembaga formalnya atau minimal menguruskan hak patennya sebagai penghargaan terhadap HAKI. Artinya, saat ini dibutuhkan lembaga talent scout yang peduli terhadap semua karya ilmuwan muda Indonesia agar bisa didapat iklim berkreasi yang sehat dan terjamin hukumnya.

MATERIAL BEKAS PT FREEPORT UNTUK SDN AMAMAPARE

Mianto Nugroho Agung

Saya bukanlah pemerhati PT Freeport Indonesia sampai hari ini Kompas (6/10, 2011) memberitakan SDN Amampare yang terpaksa memanfaatkan papan material sisa PTFI untuk menyelenggarakan PBM formal mereka. Kalau mau menyalahkan, tentu semua bersalah karena abai terhadap anak bangsa sendiri. Namun, mengapa sebagai penambang raksasa PTFI tidak mengetahui fakta ini. Selamatkan SDN Amamapare atau bakal kita saksikan anak bangsa yang memungut material lainnya dari perusahaan transnasional yang mengeruk kekayaan bangsa kita.

Minggu, 02 Oktober 2011

UANG KECIL UANG BESAR

Mianto Nugroho Agung

Dalam sebuah kesempatan saya mendapatkan 'kuliah' gratis dari seorang teman yang sedang menjalankan usahanya dan melakukan ekspansi atau ya .. diversifikasi usaha. Tema kuliah itu menyangkut basis ideologis seorang wirausaha. Katanya, dan heran, langsung dibenarkan teman-teman lain yang saat itu ada di situ, sukses seseorang itu bisa diketahui dari orientasi dan tujuan usaha yang digeluti. Mereka yang mengejar uang kecil (receh) pastilah orang yang tidak akan pernah sukses. Sebaliknya, kali ini dengan lebih semangat, mereka yang berorientasi pada uang besar, pastilah bakal meraih kesusksesan. Benarkah demikian? Meski tidak spontan saya kemukakan dalam forum itu, saya memiliki beberapa pandangan pembanding alias second opinion
  1. Pertama, iman yang mengharusan 'barang siapa setia pada perkara kecil akan diberikan (tanggung jawab dan hadiah) perkara besar'. Firman yang telah berusia ribuan tahun ini tentu sangat berpihak pada proses dan fakta bahwa manusia yang bersifat pembelajar seumur hidup akan mencapai top performance-nya pada waktu yang tepat, tetapi tidak serta merta. Soal makanan, sesuai usia fisiknya, bayi tidak bisa diberi nasi goreng. Soal beban latihan, pelari tidak bisa langsung berlari kencang tanpa berlatih sedikit demi sedikit dan pemanasan sebelum berlari dan memenangi perlombaan. Soal belajar formal, anak-anak SD tidak bisa langsung diminta menuliskan resensi buku Si Kancil sebelum bisa membaca abjad. Dst. ... Manusiawi bukan?
  2. Kedua, filososfi berwirausaha China 'bukan soal ming tapi berapa ping". Alias, bukan soal 'hanya' uang kecil' tetapi berapa kali ada uang receh. Pengusaha pulsa dan segala ikutannya, misalnya, rela beriklan ratusan juta rupiah di TV meski hanya menjual dagangan sebesar Rp. 50 dengan margin -mungkin- Rp. 5. Mereka tidak berhenti pada Rp. 50 tentunya, tetapi berapa kali Rp. 50 itu.
  3. Ketiga, sukses selalu memerlukan fondasi berupa pasir, kerikil, dan batu belah yang dicampur air dan semen. Artinya, sinergi dan sinergi. Si Kecil adalah bagian tak terpisahkan dari Si Besar. Artinya lagi, yang hanya berorientasi pada salah satu pasti akan ambruk suatu saat. Bersinergilah.
  4. Keempat, small is beautiful.
  5. Kelima, kecil-kecil cabe rawit
Agak meloncat, setelah hampir dua tahun saya perhatikan, benar juga, meski berhasil mengembangkan usaha, namun karena matanya hanya tertuju yang-besar, maka banyak yang-kecil yang terinjak-injak. Bahkan untuk sekadar melakukan hal kecil, yaitu menepati janjinya, teman tadi sangat sulit. Akhirnya, setelah saya perhatikan lagi,  banyak pihak yang dilukai. Ia memang berhasil, menurut sudut pandangnya, tetapi dengan korban yang bertumbangan dan korban-korban itu mengingat jelas siapa penyebabnya. Apakah ini namanya sukses? Banyak contoh orang yang berhasil menangkap uang besar namun dengan banyak korban, bukan? Gayus dapat uang besar, Nazaruddin dapat uang besar, Tanzil dapat uang besar, tahu siapa korbannya selain keluarga dekat dan keluarga besarnya? Nah, apakah kita akan menjadi kandidat teman mereka?

Kamis, 29 September 2011

SINETRON INDONESIA: DUNIA MONOKULTUR

Waktu musim cinetron dengan judul cinta-cintaan: Cinta, Cinta Ini Cinta Itu dll., kami sekeluarga sering ketemuan kepentingan nonton. Sebagian ada yang ingin nonton Cinta ini, sebagian Cinta itu, sebagian Liga Inggris, sebagian ... dst. Ramai sekali rumah kami meski hanya berisi lima jiwa. Saking seringnya ketemuan begitu, sesekali kami saling lirik isi tontonan Sang Jendral Remote malam itu. Ada yang menggelitik sewaktu menyaksikan sinetron Cinta Fitri. Ya, minimal saat saya nonton. Mudah-mudahan saat saya tidak nonton ada orang Hindunya, Budhanya, Kristennya, Katoliknya, bukan satu agama saja. Yaa  ... gimana, ya. Janggal ajalah. Bayangkan, cerita dengan setting Indonesia yang multikultur dipaksakan monokultur. Iya, baik tokoh maupun nuansanya semua sangat satu agama, MONOKULTUR! Dan, ketika memerhatikan sinetron lain, tidak jauh berbeda alias beda-beda tipis monokulturnya. Apa pasal? Ini dia kira-kira ...
  1. Sinetron yang ditayangkan setiap hari di prime time pasti bersifat kejar tayang (striping) yang mengharuskan tim kreatifnya tidak sempat melakukan riset sehingga saat develop cerita mereka cuman memikirkan cepat selesai. 
  2. Hasil riset yang seabreg kadang-kadang hanya dipakai bagian generalnya baik itu stereotype atau stigmatisasi. Yang stereotype, kalau Jawa ya berblangkon, baju lurik, kebaya ala kadarnya, ngomong kedesa-desaan. Kalau Batak ya horasnya, bah-nya, lengkap dengan ucok dan butetnya. Kalau Ambon ya intonasi tarikan di akhir kata/kalimat, dan lain-lain. Stigmatisasi, ya kalau Batak pasti preman, kalau Jawa pasti pembantu, kalau Betawi pasti bloon, kalau ... dst. Padahal itu semua -stereotipe dan stigmatisasi- salah muluuuu ... Tapi, ya, ketika menuliskan perwatakan, treatment, dan develop srcriptwriter kan ada di balik meja. Masih muda dan bekerja sendiri nun jauh di apartemen nan steril dari realitas sosial demi produktivitas hari itu. Kalau skenario gagal ditulis, pecat ...
  3. Produsen yang mau main aman saja. Sinetron terjajah oleh industrialisasi budaya populer yang mengabaikan realitas sosialnya. Atas nama 'dari pada salah tafsir atas agama dan budaya lain' maka pemaksaan  (baca: pemerkosaan) realitas soial dan eksploitasi budaya sendiri dijalani. Kalau Gayus menyelewengkan uang pajak disebut koruptor, Kalau PNS menyia-nyiakan waktu kerja produktifnya disebut koruptor, maka kalau scriptwriter memerkosa realitas liyan dan mengeksploitasi budaya sendiri sesungguhnya .... (hii, isi sendiri. Takut dimarahi Mbak Luvie Melati di Serunya! Screenwriter sana).
  4. Penayang lebih berat ke sisi bisnis (tontonan) dari pada ke tanggung jawab moral (tuntunan). Ketika sudah aman dengan monokultur tertentu dan laku dijual, buat apa capek-capek menambahkan kultur lain yang berpotensi merusak bisnis. Penayang sering dihadapkan the invisible pressure yang sangat destruktif dari pada teror bom bunuh diri. Bagi SCTV (kemudian Indosiar) yang saat itu menayangkan Cinta Fitri pasti menimbang dengan cermat kalau mau memaksakan masuknya Pendeta dalam cerita jika tidak ingin dicap adanya KRISTENISASI melalui sinetron. Nah di Indonesia ini, bukankah kata KRISTENISASI itu begitu menakutkan sehingga untuk ditulis saja resikonya segudang.
  5. Budaya riset mendalam dianggap memperberat biaya produksi. 
  6. Rendahnya nasionalisme stakeholder industri sinetron. Apakah adagium 'bsinis tidak saling berhubungan signifikan dengan nasionalisme' dipeluk secara buta, kita tidak tahu tetapi nyatanya kemauan mengedepakankan nilai-nilai nasionalisme (yang termudah mengangkat multikulturalismen) saja sinetron kita (baca: Indonesia!) enggan (dengan berbagai alasan dan argumen yang bisa mereka kemukakan). Nasionalisme dan bisnis sinetron seakan berada di ruang yang berbeda nun jauh tak terukur. Memang atribut nasionalisme bisa muncul di sekitar bulan Agustus, tetapi sangat dangkal dan periferial serta artifisal. 
  7. Tidak adanya lembaga pemberi sertifikasi bagi scriptwriter. Seandainya untuk menjadi scriptwriter seseorang diharuskan memiliki sertifikat yang mengusung kurikulum sertifikasi nasionalisme, pluralisme, kebudayaan lokal, kontekstualisasi, PKLH, ketahanan negara, psikologi sosial, dasar-dasar sosiologi, dll. maka mungkin wajah sinetron kita agak lain barangkali, ya.
  8. 'Mr. Modal' is the boss, Mrs. Rating is the Bigboss'. Jika satu sinetron seharga Rp. 600 jutaan maka tentu cerita harus menghambanya. Modal dan Rating are the highgest rulling . Semua harus tunduk kepada modal dan rating. Dalam benak produsen dan penayang sinetron ada kata suci, 'dari pada sinetron bernilai tuntunan tetapi tidak laku, lebih baik ... '. Taruhannya Rp. 600 juta, men. Dan, hengkangnya pemasang iklan yang memiliki mata tajam di lembaga pemeringkat.
Dan masih banyak lagi sebab mengapa kaca mata kuda merk monokultur terpaksa atau dengan sengaja dipakai para produsen dan penayang sinetron kita. Lha konsumennya? Kura-kura dalam perahu, ya jelas sangat berparadigma monokultur dong wong jelas-jelas mereka yang menikmati tontonan itu. Kalau tidak ...

SEPULUH HAL YANG MEMBUAT IKLAN JADI MERAGUKAN

Kami sekeluarga sering memerhatikan berbagai detil iklan dan kemudian mendiskusikannya sambil lalu. Pokok perhatian kami sering liar ke mana-mana kalau sudah mengomentari iklan. Salah satu yang ingin kami kemukakan di sini adalah sepuluh hal yang membuat iklan menjadi meragukan kami dan atau konsumen lain yang teliti dan kurang kerjaan. Just kidding. Meragukan oleh karena dengan dimuatnya hal-hal itu keinginan menggebu untuk mengonsumsi produk tertentu menjadi pudar. Hal-hal itu terasa mengganggu oleh karena tidak ada penjelasan lebih lanjut. Paling maksimal diberi catatan 'Telepon layanan konsumen di ... ". Beli produk seharga Rp. 100 harus meluangkan waktu nelepon layanan konsumen? Apakah gerangan kesepuluh hal itu, ini dia:
  1. Selama persediaan masih ada. Nah, kapan konsumen tahu persediaan masih ada, atau bahkan tidak pernah ada? Tidak pernah satu pun penjual produk yang mengumumkan persediaan dimaksud secara terbuka dan meyolok sehingga konsumen bisa mengetahui, bukan?
  2. Syarat dan ketentuan berlaku. Nah, ini lagi! siapa yang membuat syarat untguk siapa dan apa urusannya tiba-tiba konsumen 'dipagari' dan dipaksa tunduk kepada syarat yang ditentukan sepihak demikian? Pilihan banyak, uang-uang konsumen sendiri, yang butuh siapa? Ha ha ha ... emosi.
  3. Diskon 70%, jual rugi, tidak cari untung. Wah, ini pedagang belajar teori pemasan dari siapa, ya? Siapa yang nggak geli dengan ikaln seperti ini? Yah, paling-paling membatin 'jangan-jangan harganya sudah dinaikkan sebelum didiskon'. Boleh to, mumpung membatin belum dikenai pajak?
  4. Awas atau hati-hati penipuan! Btw, masih ingat pepatah 'maling teriak maling'? 
  5. Hari ini bayar, besok gratis! Lah memangnya ada hari esok? Setiap hari yang dijalanai untuk bertransaksi kan 'hari ini'? Kira-kira dong kalau ngiklan.
  6. Bersambung ...

KIOS INSPIRASIONAL: PINTU SRAWUNG

Pada tanggal 30 Januari 2009 keluarga saya memutuskan membuka kios yang menjual kebutuhan sehari-hari anak kos kami. O, iya, beberapa tahun ini kami  memang menyewakan 14 kamar yang tidak sengaja kami buat saat merenovasi rumah kami. Selain tujuan mendapatkan tambahan finansisal, kedua usaha ini memungkinkan kami untuk bergaul lebih luas. Oleh karena itu usaha ini kami sebut sebagai 'Pintu Srawung' alias pintu bersosialisasi. Dengan kios ini setidaknya terdapat hal positif yang bisa kami petik, yaitu:

1. Lebih sering didatangi dari pada mendatangi. Kalau dahulu kami harus menghitung-hitung banyak hal untuk srawung dengan tetangga sekitar, kini justru kami yang didatangi mereka. 
2. Aliran informasi lebih deras dan beragam. Kalau dahulu dengan berbagai rasa sungkan kami harus mencari informasi sekitar siapa yang sakitkah, siapa yang meninggalkah, siapa yang bakal menyelenggarakan hajatkah, siapa yang melahirkankah, dan berbagai informasi 'remeh' semacam itu, kini tanpa kami minta informasi itu 'mendatangi' kami. Selain lebih cepat, juga lebih beragam sumber. Sehingga, tingkat kebenarannya lebih terandalkan. Kalau perlu proses check & recheck bisa kami lakukan.
3. Proses silaturahmi lebih intensif. Kalau dahulu ketemuan dengan tetangga selain jarang juga kalau bisa bertemu, hanya sebentar saja. Itu pun banyak basa-basinya. Kini kami bisa lebih sering ketemu, lebih mendalam membahas sesuatu masalah, lebih beragam topik pembicaraan, lebih banyak yang terlibat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kami bisa hapal tenang segala-sesuatunya isi-A, si-B, si-C, dan sebagainya. 
4. Meningkatnya fungsi rumah kami dari sekadar rumah tinggal menjadi pos serba guna. Sejak di Jawa Timur, sesuai dengan karakter masyarakatnya yang sangat terbuka, pintu rumah kami selalu terbuka saat kami tidak tidur atau bepergian. Saat itu kami hanya dapat angin dan karena itu masuk angin ketika pintu kami kami buka. Kalau ada tamu, belum tentu sehari satu. Dari pada pintu terbuka percuma lebih baik kami manfaatkan buka kios. Nah, ini untungnya, ketika sudah ada kios, rumah kami jadi tempat kumpul, membahas masalah kehidupan, barter informasi, dan bahkan tempat melakukan konseling pastoral kilat. Karena tertib buka dari jam 5 pagi dan baru tutup jam 10 malam maka kios kami sangat diandalkan konsumen kami. Bahkan di jam-jam rawan itu keserbagunaannya meningkat. 
5. Kami -terutama anak-anak kami- jadi lebih memahami realitas lokal sehingga proses berempati terhadap kesulitan sesama meningkat dan tepat.
6. Kualitas dan kuantitas srawung kami meningkat sangat pesat dan positif serta signifikan. Sebagai pendatang baru di Salatiga (1992), banyak hal yang masih perlu kami pelajari. Kalau hanya mengandalkan srawung formal (pertemuan KK, rapat pengurus RT, begadangan, dolan, dll.) maka hanya permukaan saja yang kami peroleh. Padahal, banyak hal yang berbeda antara budaya Jawa Salatiga dan budaya Jawa Malang/Trenggalek tempat kami suami isteri berasal. Dengan kios kami ini, gelontoran informasi kebudayaan dan bahkan ekspresi praksis masyarakat Salatiga langsung bisa kami jumpai. Itu semua gratis dan datang dengan sendirinya ke rumah kami. 
7. Meningkatnya hubungan-hubungan di antara kami. Ya, baik kami dengan tetangga, tetangga dengan sesama tetangga, maupun agen-agen hubungan lain yang memungkinkan terlibat: anak-anak kos, tamu-tamu luar kampung, sanak keluarga yang datang berkunjung, pemasok komoditas dagangan kami, dll.
Masih ada banyak keuntungan yang kecil-kecil, namun pendeknya, dengan frase 'Pintu Srawung' saya harap cukup menggambarkan betapa interaksi, hubungan, dan relasi baru bisa dibangun sedemikian rupa sebagai 'keuntungan' sosial yang harganya sudah barang tentu lebih mahal dari pada laba riil kios kami. Keuntungan sosial yang tentu bakal tak terbeli sampai kapanpun.

Rabu, 28 September 2011

KEMATIAN-KEMATIAN YANG MENGEJUTKAN

Pagi ini (29/9) seorang teman kantor menceriterakan betapa terkejutnya ia saat mengetahui tetangganya meninggal di usia muda (katanya kelahiran 1969). Padahal, lanjut teman saya itu, beberapa jam sebelumnya suami teman saya itu baru saja bersua almarhum. Selidik punya selidik almarhum ternyata kena serangan jantung. Belum seminggu yang lalu, telah ada kematian-kematian yang mengejutkan seperti itu: seorang jendral purnawirawan yang mati di tengah acara keagamaan, seorang bayi 10 bulan yang mati di gendongan Budhenya, dan beberapa cerita jauh yang menyertainya. Kematian-kematian yang mengejutkan betapa seringnya kita temukan: dua saudara tulang punggung keluarga yang mati karena kendaraan yang mereka tumpangi ditabrak bus Sumber Kencono di Mojokerto, ibu dan anak tulang punggung keluarga yang mati sebagai korban tabrak lari di Bogor, seorang suami yang isterinya mati terinjak-injak saat hendak mencari selamat dalam kebakaran KMP Kirana, semua karena mati mendadak bahkan ada yang tidak sempat pamit. Namun, kepergian Hendra Cipta, Utha Likumahua, Jendral Kunarto, dan lain-lain pun juga mengejutkan meski jauh hari didahului sakit. Jadi? Ya, agaknya kematian -mendadak atau tidak- tetap mengejutkan. Alias, setiap kita yang masih hidup selalu tidak siap mengalami kematian orang lain. Apalagi jika yang mati itu memiliki hubungan emosional, tradisional, famili, dll.

One Stop Service: Strategi Jitu Pemasaran Pariwisata

Pagi ini di Kompas TV ditayangkan diskusi tentang pemasaran pariwisata Indonesia yang menghadirkan narasumber Yanti Sukamdani (Ketua PHRI) dan Cintya Tirayoh (Putri Pariwisata 2010). Semua pendapat baik dari narasumber maupun dua host-nya baik adanya. Sebab, keempatnya sangat menguasai strategi pemasaran pariwisata. Namun ketika sampai pada titik di mana pemasaran telah dilakukan dengan berbagai cara dan tidak juga berhasil menumbuhkan kesadaran berwisata bangsa Indonesia, keempatnya nampaknya setuju dengan pendapat host pria yang menyatakan letak geografis Indonesialah yang menghambat kinginan turis domestik untuk mau mengunjungi Papua, Sulawesi, NTT dan lain-lain destinasi wisata yang sulit dijangkau secara normal. Keempatnya lupa tujuan berwisata itu apa. Seandainya mereka mau memosisikan diri sebagai 'konsumen' pariwisata tentu akan tahu tujuan itu. Berwisata dimaksudkan untuk menyegarkan diri dengan melupakan gangguan apapun yang selama ini dialami dengan menikmati seluruh kemudahan yang mampu dibeli. Untuk apa ke tempat jauh di Indonesia jika perjalanannya saja menyita waktu, tenaga, dan biaya hampir 80% alokasi anggaran berwisata itu? Dengan demikian, berdasarkan pengalaman pribadi, tujuan wisata yang paling menarik tetap yang one stop service. Sekali datang bisa dapat semuanya. Dalam berbagai kunjungan kerja ke kota-kota di pelosok Indonesia yang dipromosikan pariwisatanya, saya justru tidak pernah sekalipun mengunjungi tempat wisata itu, karena begitu kompleksnya 'jalan' menuju ke sana: moda angkutannya, informasinya, akomodasinya, keamanannya, dll. Hanya mereka yang memiliki tujuan sekunder bahkan tertier seperti nasionalisme, idealisme, konsumerisme, borosisme yang mau mengorbankan alokasi 80% anggaran yang dimilikinya. Tetapi, tetap mayoritas wisatawan domestik menghendaki one stop service. Sekali jalan dapat semuanya: pantai, mall, rumah makan, budaya, gunung, cinderamata, dan lebih-lebih kesegaran jiwa raga. Itulah mimpi wisatawan domestik sementara ini seperti yang dinyatakan Yanti Sukamdani dalam uraiannya. Mengapa turis domestik lebih suka ke Bali, Yogya, Malang, Jakarta, Bandung? Karena, di sana mereka bisa dapatkan 'semuanya' meski sebagian sangat artifisial. Jadi, kapan masyarakat penyedia pariwisata Indonesia bisa goes to one stop service ... ?

Selamatkan Indonesia dengan ...

Beberapa waktu lalu koran Kompas memuat tiga tulisan di sekitar tema Filsafat Ilmu (Epsitmologi). Pertama, tulisan Daoed Yoesoef yang mengritisi lemahnya peran ilmuwan terhadap pengembangan ilmu yang dipilih mereka masing-masing. Kedua, tulisan Mart berjudul 'Selamatkan Indonesia', yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mungkin eksis jika stakeholder keilmuan Indonesia peduli dengan tumbuh kembangnya ilmu-ilmu. Dan, ketiga, publikasi tentang peringkat Perguruan Tinggi Indonesia yang terus merosot dibanding perguruan tinggi dunia. Sebagai dosen mata kuliah dan penulis buku Filsafat Ilmu & Logika, saya merasa disadarkan akan kenyataan-kenyataan memrihatinkan di dunia keilmuan ini. Jika indikator keberhasilan perguruan tinggi tersimpul dalam identitasnya sebagai research university maka justru di dalam dan melaluinya ternyatakan kelemahan 'kita'. Tiga indikator sebagai research university gagal kita penuhi. Baik publikasi ilmiah, penelitian ilmiah, maupun pengabdian masyarakat komunitas ilmiah Indonesia sungguh rendah bahkan dibanding Thailand, Malaysia, Filipina, dan terakhir Vietnam. Dalam diskusi-kelas mata kuliah Filsafat Ilmu & Logika di Fakultas Psikologi UKSW kami sampai pada kesimpulan bahwa titik keberangkatan yang dipilihlah yang menyebabkan seluruh rangkaian keilmuan berikutnya menjadi rapuh dan rentan ambruk. Sejak awal kuliah, mahasiswa tidak dilibatkan ke dalam dunia publikasi, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sehingga, mereka menjadi tercerabut dari berbagai 'akar' yang seharusnya memerkokoh bangunan keilmuan mereka. Fakta menunjukkan, banyak mahasiswa yang bergulir begitu saja saat kuliah: yang penting kuliah, yang penting sarjana, ikut dalam arak-arakan 'sepantasnya' (dalam arti sepantasnyalah anak sekarang kalau kuliah dan sarjana). Kalau disurvai acak kasar, mungkin hanya satu dari seratus mahasiswa S-1 yang telah memiliki sesuatu yang hendak ditulis menjadi skripsi di awal perkuliahan. Jadi, ajakan selamatkan Indonesia yang diteriakkan Mart harus mendapatkan arti konkret dengan berani memutus mata rantai keterpurukan dunia keilmuan Indonesia dengan berbagai cara, antara lain memersiapkan mahasiswa sedini mungkin untuk gemar meneliti, gemar memublikasikan pikirannya, dan gemar mengabdikan ilmu yang digelutinya untuk kesejahteraan banyak pihak.

Bayang-bayang Kebesaran Presiden Soeharto ...

Kami sekeluarga hidup dalam komunitas 'miskin' di lingkungan 'berada' bernama kampung Kemiri, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia. Kampung Kemiri berada tepat di ring satu UKSW. Karena itu tidak heran jika menjadi salah satu jantung perekonomian Salatiga. Sayang tidak semua masyarakat 'asli' Kemiri beruntung menikmati 'kemewahan' yang terjadi di kampung mereka. Banyak dari mereka yang menjual tanah dan menghidupi diri dari sektor informal: mengojek, kios mini, kos, cucian, dll. Nah, kemarin malam (Rabu, 28/9) seorang pengojek datang ke rumah untuk pinjam uang untuk melunasi cicilan motornya. Omong punya omong, si pengojek itu berkeluh kesah mengenai keadaan perekonomian yang tak kunjung membaik dan berpihak secara ramah kepada dirinya. "Masih mending zaman Pak Harto. Uang kita memiliki nilai yang sangat baik", katanya. Seorang teman yang mengantarnya membenarkan. Saya sendiri tidak kuasa menanggapinya demi mengetahui hati kecil saya juga membenarkan pernyatan itu. Sampai kami bubaran, kami bungkam seribu bahasa tentang kata-kata tadi. Apa makna kata-kata itu? Relevansinya dengan pemerintahan sekarang apa? Benarkah pemerintah setelah Presiden Soeharto demikian tidak mampunya sehingga gagal memenuhi tuntutan seorang tukang ojek agar nilai rupiah kembali membaik? Masih adakah kesempatan ke sana di tengah realitas yang memberhalakan 2014?

MENULIS SEBAGAI GAYA HIDUP

Seorang sejawat dari Jerman hingga kini (sejak kedatangan di tahun 1994) merasa heran mengetahui ada mahasiswa Indonesia yang berulang kali gagal menerapkan penggunaan kata depan 'di' dalam tulisan-tulisan mereka. Kalau hanya salah ketik bisa dimaklumi, tetapi kalau berulang tentu bukan salah ketik. Pagi ini, saya berkesempatan berdiskusi dengan sesama pengajar Filsafat Ilmu di UKSW yang juga merasa prihatin akan kemampuan berbahasa mahasiswa. Beliau menyatakan rendahnya kemampuan berbahasa akibat kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia yang kebabalasen mengembangkan mata pelajaran yang ada. Dahulu masih ada mata pelajaran 'Mengarang' yang memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan logika dengan baik. Di perguruan tinggi juga ditempuh 'apresiasi sastra' dengan menelaah karya-karya sastra besar Iindonesia maupun dunia. Sehingga, stok penulis dan tulisan begitu banyaknya. Sebagai Redaktur Pelaksana jurnal ilmiah yang belum terakreditasi pun dahulu saya dimudahkan dengan banyaknya isi bank tulisan kami. Tak jarang, tulisan resensi buku menumpuk berpuluh-puluh hingga bingung mana yang harus diterbitkan. Bukan karena banyaknya saja, namun karena mutunya juga sangat baik. Buku-buku yang diresensi juga buku berkelas. Dahulu masih banyak mahasiswa yang 'nyantrik' belajar menulis ilmiah kepada saya. Beberapa berhasil menjadi penulis. Belakangan, meski sudah disediakan fasiltas dan sarananya, masih saja sulit menemukan penulis yang baik dan benar. Begitu sulitnyakan menulis bagi kita? Tidak dan ya. Tidak sulit menulis ketika tulisan diartikan sebagai yang gitu-gitu aja. Lihatlah mereka yang menulis SMS itu! Tidak peduli di mana, sedang nyetirkah, ada orang tua yang menyapa, atau lain-lain kesempatan, menulis SMS tetap harus dilakukan. Dalam arti dangkal dan sempit, menulis memang tidak sulit. Tetapi tulisan demikian tentulah bukan tulisan sistematis apa lagi ilmiah. Kita sedang membutuhkan tulisan-tulisan sistematis dan ilmiah. Sulit, jika tulisan itu harus memenuhi dua tuntutan itu. Jika mau percaya, jadikan dahulu menulis sebagai kebutuhan dan kemudian gaya hidup baru lahir penulis dan tulisan yang baik dan benar. Selama menulis masih merupakan momok, hantu, apalagi musuh selama itu pula akan kita jauhi. Kalau menulis merupakan gaya hidup yang memenuhi standar tertentu maka menulis menjadi begitu mudah dan menyenangkan ...

WAJAH LAIN MAHASISWA INDONESIA

Siang ini seorang teman sesama Senior Member GMKI dan sesama alumnus F.Th. UKSW mengirimkan surat elektronik dan melampirkan artikel/reprotase dari edukasi.kompas.com yang berjudul Lima Wajah Mahasiswa Indonesia. Artikel itu merupakan berita saat pengukuhan guru besar ilmu pendidikan moral Prof. Masrukhi di Unes Semarang. Kata Prof Masrukhi ada lima tipe wajah mahasiswa Indonesia, yaitu:

1. Wajah mahasiswa yang idealis-konfrontatif, yang cenderung aktif menentang kemapanan, seperti melalui demonstrasi.
2. Wajah mahasiswa idealis-realistis, lebih kooperatif dalam perjuangan menentang kemapanan.
3. Wajah mahasiswa oportunis, yang cenderung mendukung pemerintah yang tengah berkuasa.
4. Wajah mahasiswa profesional, yakni mereka yang hanya berorientasi pada kuliah atau belajar.
"Empat wajah mahasiswa ini ternyata hanya ada sekitar 10 persen, " kata Prof.Masrukhi. Sisanya, adalah tipe wajah mahasiswa yang ke-5.
5. Wajah mahasiswa rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup glamour dan bersenang-senang,"

Nah, jika diamati, sebenarnya ada tipe lain, yaitu mahasiswa yang kecelakaan kalau tidak mahasiswa yang celaka. Mereka menjadi mahasiswa karena celaka akibat berbagai hal. Jadi, lebih dari sekadar rekreatif, mereka justru destruktif karena menjadi virus dan racun bagi mahasiswa lainnya. Fakta-fakta mahasiswa baik-baik yang terjerumus atau dijerumuskan ke berbagai lubang kenistaan adalah buktinya. Kalau mereka glamour, glamournya dari sumber yang tidak baik. Kalau mereka bersenang-senang, kesenangannya mengusili yang lain. Nah, kalau bernostalgia, kita termasuk mahasiswa tipe wajah mana, ya ...? Saya sendiri, dulu, selain nulis dan berorganisasi, lebih sering menjadi pemburu beasiswa ... .