Seoarng anak SMP bersungut-sungut kecewa telah menuruti nasehat mamanya. Dia merasa bahwa nasehat yang dia turuti itu menyesatkan dan merugikannya. Bagaimana bisa? Ceritanya, pagi hari sebelum berangkat sekolah dia meminta pendapt mamanya mengenai jam ekstrakurikuler bulutangkis yang seharusnya dia ikuti hari ini. Di tengah terbaginya perhatian mamaya, mamanya itu mejawab jam tiga soer begitu saja dan dengan mengingat-ingat jam tepatnya. Mamanya menambahkan kalau benar jam tiga soer, maka, lebih baik pulang dan makan sebelum kemudian berangkat kembali untuk ekstra bulutangkis itu. A
Alkisah, anaknya itu berangkat dengan mantap. Ternyata, jadwal ekstra bulutangkis itu jam satu siang dan sudah diumumkan jauh hari. Anak SMP ini pulang cepat, makan, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke sekolah untuk mengikuti ekstra bulutangkis itu. Bisa dibayangkan betapa hebohnya momentum persiapan itu, bukan? Benar, mulai dari mengambil nasi, makan, mencuci piring-sendok, menganti pakaian bulutangis, memilih dan mengenakan sepatu, dan lain-lain. Alhasil, jam satu kurang lima menit barulah dia siap berangkat. Sampai, ... keluarlah sungut-sungut itu.
Anak SMP ini rupanya lupa kalau memastikan jam ekstra bulutangkis, menyimpan lembar informasi mengenainya, dan membuat keputusan pulang atau tidak untuk makan adalah murni bagiannya. Bukan orang lain! Ya, termasuk mamanya. Itu masalah terbesar anak ini. Cukupkah dengan mengetahu masalahnya ini? tidak. Sekarang anak SMP itu diuji orientasinya: masalah atau solusi masalah itu. Rupanya anak ini masih emosi sehingga tetap merasa benar dan mamanya salah memberi nasehat.
Secara teoritik, sikap anak SMP ini merugikan karena dia akan terseret ke efek bola salju masalah utamanya: menyalahkan mamanya, menunggu saat yang tepat untuk mendamprat, menyusun kata-kata amarah, menumpahi semua orang yang ada di dekatnya dengan rutuk dan sumpah serapah, dan seterusnya hingga masalahnya bertambah besar, bukan selesai. Apa pun salah dan merupakan masalah di mata anak ini.
Dengan pengalamannya, papanya mengintervensi situasi negatif itu dengan mengajukan pernyataan: "Masih ada waktu 5 menit, lari saja ke sekolah sekaligus pemanasan." Kakaknya, manambahkan, "Masih untung rumah kita dekat dengan sekolahmu, Dhik, bandingkan dengan teman-temannya yang jauh rumahnya."
Ya, daripada memusuhi masalah utamanya, lebih baik memberi makna positif dair sesuatu yang masih mungkin didayagunakan, bukan. Lebih dari itu, bersyukur.
Kisah di atas hendak menunjukkan dua jenis orientasi seseorang yang bertolak belakang: masalah atau solusi masalah. Semakin berorientasi masalah semakin besar pula masalah itu. Lebih baik memberi makna positif dan -lebih-lebih- mensyukuri berbagai anugerah Yesus yang bisa memberi kesejukan hati. Mau melimilih yang mana?
Jumat, 23 Agustus 2013
Minggu, 14 Juli 2013
Hubungan Estetika dan Musik
Hubungan
Estetika dan Musik
Dalam bukunya (Estetika Musik, Max5mdia, Salatiga, 20013, h 60-64), Mianto Nugroho agung menyatakan bahwa setelah sekilas menengok beberapa bagian filsafat dan
kemudian estetika, sekarang sudah seharusnya kembali mengingat bagaimana musik
lahir dalam konteks, konstelasi, dan lingkup pembicaraan ini. Sebagaimana kita
ketahui, pengetahuan tentang letak musik dalam filsafat penting agar
mahasiswa musik sadar akan
a. jati
diri dan identitas musik dalam posisi, relasi, dan kontribusinya bagi ilmu-ilmu
lain,
b. perlunya
terus menerus mengembangkan musik secara obyektif, proposional, dan visioner
dengan laku filsafat yang mengedepankan aspek berpikir sistematis, tertib,
rasional, dan komprehensif,
c. lingkup
(ortodoksi dan otopraksis) ber-musik, sehingga kinerjanya senantiasa dimurnikan
karena berada dalam batas-batas penguasaan ilmu yang tegas, jelas, dan mantap,
d. tuntutan
profesionalitas dalam berpsikologi, terutama pada aspek etikanya.
Kelahiran musik sebagai ilmu yang otonom diyakini juga
dari filsafat. Ini agak meloncat dan menyederhanakan sejarah panjang musik.
Namun ada benarnya, oleh karena pada zaman dahulu, dalam kaitannya dengan musik
hingga abad 18, hanya ada satu ilmu yaitu filsafat. Apalagi jika diingat filsafat
pada dasarnya merupakan induk dari segala ilmu.
Untuk
memetakan musik dalam pohon filsafat guna mengetahui hal ihwal musik memang
harus diperjelas apa yang dimaksud. Sebab, terdapat beberapa aspek musik dalam
hal ini, yaitu:
a. Alat-alat
musik yang diciptakan untuk dimainkan sekaligus cara
memainkannya.
b. Sejarah
musik, yakni sekitar waktu kelahiran dan waktu-waktu puncak
hal ihwal musik, pengelompokan musik (tradisional, Barat, Non-Barat, dll.)
c. Ilmu
musik (=musikologi, yaitu proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas musik,
serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang dikaji).
Atau biasa dipahami sebagai ‘proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas
musik, serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang
dikaji.’
Mianto Nugroho Agung juga menegaskan bahwa musik jelas bagian dari karya seni. Karya seni jelas
mengusahakan keindahan di dalamnya. Keindahan yang didatangkan di dalam karya
musik tentu bukan tanpa motif atau bahkan interes komposernya. Dapat dipastikan ada motif, proses keratif,
dan ekspresi dalam pembuatan karya musik. Begitu juga dengan pengalaman
estetik/keindahan, yang sudah pasti dialami baik oleh composer ketika menulis
lagu, penyaji/penampil ketika mengekspresikan komposisi, maupun apresiator yang
menonton atau mendengarkan lagu itu. Jadi memang di dalam satu komposisi yang
diekspresikan terdapat tiga aspek yang menjadi obyek material estetika, yaitu:
hakekat keindahan dalam musi itu, motiv dan proses produksi karya musik itu,
dan pengalaman keindahan stakeholder-nya.
Karena itu pada tempatnya jika muncul cabang pengetahuan berupa Estetika Musik
dari Axiologi dan kemudian Estetika.
Sekarang mari kita kembali ke Bab 1 kembali untuk
mengingat dan memastikan ihwal Estetika Musik ini lebih jauh. Jika hendak
merunut ‘dari mana’ lahirnya Estetika Musik, maka dapat diuraikan sebagai
berkut: Setelah manusia diciptakan, mereka memasuki proses ‘menjadi’ (to be) yang membedakan mereka dari
ciptaan lain. Dalam perjalanan proses ‘menjadi’ itulah manusia mengalami
berbagai persoalan yang menuntut akal budinya untuk menghasilkan jawaban yang
kadang bernilai praktis dan kadang bernilai abstrak. Oleh karena keterbatasan
akal budinya, manusia jatuh ke situasi yang sulit untuk mendapatkan jawaban
rasional. Maka, mereka mengandalkan jawaban pra-akal. Lahirlah masa-masa
mitologi yang bersandar pada hal-hal yang tak terjangkau oleh akal.
Kehidupan
manusia dengan mitos-mitos di sekitarnya hingga saat ini masih sering dihadirkan,
terutama ketika manusia tidak mengoperasikan akal budi dan hati nuraninya
dengan efektif. Telah kita ketahui pada sekitar 600 tahun sesudah masehi Thales
melakukan proses demitologisasi sehingga jawaban atas segala pertanyaan manusia
ditemukan hingga ke tingkat arkhe. Inilah saat kelahiran filsafat.
Dengan ‘moda’
filsafat dan kemampuan berpikir yang semakin baik, lahirlah empat cabang
filsafat, yaitu: Filsafat Pengetahuan, Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan,
Filsafat Nilai-nilai dalam Tindakan, dan Sejarah Filsafat. Dari Filsafat
Pengetahuan berkembang berbagai –kelompok- ilmu: ilmu alam (natural science), ilmu sosial (social science), ilmu budaya (cultural science), ilmu humaniora (humanistic science), ilmu agama (religious science), ilmu teknik
informatika (informatics technique
science), dan seterusnya. Namun, sebelum itu, filsafat telah berkembang dan
muncul pengelompokan: ontologi (filsafat tentang ada), epistemologi (filsafat
tentang bagaimana ada didekati/diperlakukan), dan aksiologi (filsafat nilai dan
kegunaan ada). Dalam dan melalui kelompok aksiologi inilah berkembang estetika
(filsafat keindahan alami) dan etika (filsafat moral).
Berdasarkan
obyek materialnya, Mianto Nugroho Agung juga menegaskan, Estetika kemudian berkembang menjadi Estetika Sastra,
Estetika Tari, Estetika Rupa, Estetika Drama, dan Estetika Musik sesuai dengan
obyek materialnya, yaitu sastra, tari, rupa, drama, dan musik. Setelah estetika dalam arti generiknya
(filsafat keindahan alami) beroperasi, baru diketahui potensi pengembangan
definisi, makna, dan sasarannya atau apapun terma yang mencerminkan/
mengindikasikan obyek materialnya. Maka, kemudian lahirlah jenis-jenis estetika
berdasarkan obyek-obyek materialnya itu. Misalnya, berdasarkan ‘tertib
ontologisnya’ (=bentuk pemikiran dan tindakan yang
lebih bersifat formal, resmi, dan teratur) estetika
musik dibedakan menjadi 1) Estetika Musik Tradisional, 2) Estetika Musik
Klasik, dan 3) Estetika Musik Kontemporer (Modern).
Akhirnya, Mianto Nugroho Agung menyimpulkan jika ‘musik’
secara historis muncul sejak manusia secara sadar menghasilkan bunyi sedemikian
rupa sehingga senilai musik sejak awal (telusurilah sejarah musik purba, pen) dan berkembang menjadi musik
tradisi (pra Gregorian, sebelum 590), dan berlanjut hingga masa musik modern
Gregorian (590), maka estetika beroperasi jauh sebelum kelahirannya yang
dibidani oleh Baumgarten (1935). Artinya, estetika musik setidaknya juga seumur
dengan estetika kalau tidak –bahkan- lebih dahulu mengingat musik yang menjadi
obyek material telah lama ada.
Langganan:
Postingan (Atom)