Minggu, 14 Juli 2013

Hubungan Estetika dan Musik



Hubungan Estetika dan Musik

Dalam bukunya (Estetika Musik, Max5mdia, Salatiga, 20013, h 60-64), Mianto Nugroho agung menyatakan bahwa setelah sekilas menengok beberapa bagian filsafat dan kemudian estetika, sekarang sudah seharusnya kembali mengingat bagaimana musik lahir dalam konteks, konstelasi, dan lingkup pembicaraan ini. Sebagaimana kita ketahui, pengetahuan tentang letak musik dalam filsafat penting agar mahasiswa musik sadar akan

a.    jati diri dan identitas musik dalam posisi, relasi, dan kontribusinya bagi ilmu-ilmu lain,
b.    perlunya terus menerus mengembangkan musik secara obyektif, proposional, dan visioner dengan laku filsafat yang mengedepankan aspek berpikir sistematis, tertib, rasional, dan komprehensif,
c.    lingkup (ortodoksi dan otopraksis) ber-musik, sehingga kinerjanya senantiasa dimurnikan karena berada dalam batas-batas penguasaan ilmu yang tegas, jelas, dan mantap,
d.    tuntutan profesionalitas dalam berpsikologi, terutama pada aspek etikanya.

Kelahiran musik sebagai ilmu yang otonom diyakini juga dari filsafat. Ini agak meloncat dan menyederhanakan sejarah panjang musik. Namun ada benarnya, oleh karena pada zaman dahulu, dalam kaitannya dengan musik hingga abad 18, hanya ada satu ilmu yaitu filsafat. Apalagi jika diingat filsafat pada dasarnya merupakan induk dari segala ilmu.

            Untuk memetakan musik dalam pohon filsafat guna mengetahui hal ihwal musik memang harus diperjelas apa yang dimaksud. Sebab, terdapat beberapa aspek musik dalam hal ini, yaitu:

a.    Alat-alat musik yang diciptakan untuk dimainkan sekaligus cara memainkannya.
b.    Sejarah musik, yakni sekitar waktu kelahiran dan waktu-waktu puncak hal ihwal musik, pengelompokan musik (tradisional, Barat, Non-Barat, dll.)
c.    Ilmu musik (=musikologi, yaitu proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas musik, serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang dikaji). Atau biasa dipahami sebagai ‘proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas musik, serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang dikaji.’

Mianto Nugroho Agung juga menegaskan bahwa musik jelas bagian dari karya seni. Karya seni jelas mengusahakan keindahan di dalamnya. Keindahan yang didatangkan di dalam karya musik tentu bukan tanpa motif atau bahkan interes  komposernya.  Dapat dipastikan ada motif, proses keratif, dan ekspresi dalam pembuatan karya musik. Begitu juga dengan pengalaman estetik/keindahan, yang sudah pasti dialami baik oleh composer ketika menulis lagu, penyaji/penampil ketika mengekspresikan komposisi, maupun apresiator yang menonton atau mendengarkan lagu itu. Jadi memang di dalam satu komposisi yang diekspresikan terdapat tiga aspek yang menjadi obyek material estetika, yaitu: hakekat keindahan dalam musi itu, motiv dan proses produksi karya musik itu, dan pengalaman keindahan stakeholder-nya. Karena itu pada tempatnya jika muncul cabang pengetahuan berupa Estetika Musik dari Axiologi dan kemudian Estetika.

Sekarang mari kita kembali ke Bab 1 kembali untuk mengingat dan memastikan ihwal Estetika Musik ini lebih jauh. Jika hendak merunut ‘dari mana’ lahirnya Estetika Musik, maka dapat diuraikan sebagai berkut: Setelah manusia diciptakan, mereka memasuki proses ‘menjadi’ (to be) yang membedakan mereka dari ciptaan lain. Dalam perjalanan proses ‘menjadi’ itulah manusia mengalami berbagai persoalan yang menuntut akal budinya untuk menghasilkan jawaban yang kadang bernilai praktis dan kadang bernilai abstrak. Oleh karena keterbatasan akal budinya, manusia jatuh ke situasi yang sulit untuk mendapatkan jawaban rasional. Maka, mereka mengandalkan jawaban pra-akal. Lahirlah masa-masa mitologi yang bersandar pada hal-hal yang tak terjangkau oleh akal.

Kehidupan manusia dengan mitos-mitos di sekitarnya hingga saat ini masih sering dihadirkan, terutama ketika manusia tidak mengoperasikan akal budi dan hati nuraninya dengan efektif. Telah kita ketahui pada sekitar 600 tahun sesudah masehi Thales melakukan proses demitologisasi sehingga jawaban atas segala pertanyaan manusia ditemukan hingga ke tingkat arkhe. Inilah saat kelahiran filsafat.

Dengan ‘moda’ filsafat dan kemampuan berpikir yang semakin baik, lahirlah empat cabang filsafat, yaitu: Filsafat Pengetahuan, Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan, Filsafat Nilai-nilai dalam Tindakan, dan Sejarah Filsafat. Dari Filsafat Pengetahuan berkembang berbagai –kelompok- ilmu: ilmu alam (natural science), ilmu sosial (social science), ilmu budaya (cultural science), ilmu humaniora (humanistic science), ilmu agama (religious science), ilmu teknik informatika (informatics technique science), dan seterusnya. Namun, sebelum itu, filsafat telah berkembang dan muncul pengelompokan: ontologi (filsafat tentang ada), epistemologi (filsafat tentang bagaimana ada didekati/diperlakukan), dan aksiologi (filsafat nilai dan kegunaan ada). Dalam dan melalui kelompok aksiologi inilah berkembang estetika (filsafat keindahan alami) dan etika (filsafat moral).

Berdasarkan obyek materialnya, Mianto Nugroho Agung juga menegaskan, Estetika kemudian berkembang menjadi Estetika Sastra, Estetika Tari, Estetika Rupa, Estetika Drama, dan Estetika Musik sesuai dengan obyek materialnya, yaitu sastra, tari, rupa, drama, dan musik.  Setelah estetika dalam arti generiknya (filsafat keindahan alami) beroperasi, baru diketahui potensi pengembangan definisi, makna, dan sasarannya atau apapun terma yang mencerminkan/ mengindikasikan obyek materialnya. Maka, kemudian lahirlah jenis-jenis estetika berdasarkan obyek-obyek materialnya itu. Misalnya, berdasarkan ‘tertib ontologisnya’ (=bentuk pemikiran dan tindakan yang lebih bersifat formal, resmi, dan teratur) estetika musik dibedakan menjadi 1) Estetika Musik Tradisional, 2) Estetika Musik Klasik, dan 3) Estetika Musik Kontemporer (Modern).

Akhirnya, Mianto Nugroho Agung menyimpulkan jika ‘musik’ secara historis muncul sejak manusia secara sadar menghasilkan bunyi sedemikian rupa sehingga senilai musik sejak awal (telusurilah sejarah musik purba, pen) dan berkembang menjadi musik tradisi (pra Gregorian, sebelum 590), dan berlanjut hingga masa musik modern Gregorian (590), maka estetika beroperasi jauh sebelum kelahirannya yang dibidani oleh Baumgarten (1935). Artinya, estetika musik setidaknya juga seumur dengan estetika kalau tidak –bahkan- lebih dahulu mengingat musik yang menjadi obyek material telah lama ada.