Jumat, 23 Agustus 2013

Kendali Orientasi Positif

Seoarng anak SMP bersungut-sungut kecewa telah menuruti nasehat mamanya. Dia merasa bahwa nasehat yang dia turuti itu menyesatkan dan merugikannya. Bagaimana bisa? Ceritanya, pagi hari sebelum berangkat sekolah dia meminta pendapt mamanya mengenai jam ekstrakurikuler bulutangkis yang seharusnya dia ikuti hari ini. Di tengah terbaginya perhatian mamaya, mamanya itu mejawab jam tiga soer begitu saja dan dengan mengingat-ingat jam tepatnya. Mamanya menambahkan kalau benar jam tiga soer, maka, lebih baik pulang dan makan sebelum kemudian berangkat kembali untuk ekstra bulutangkis itu. A
     Alkisah, anaknya itu berangkat dengan mantap. Ternyata, jadwal ekstra bulutangkis itu jam satu siang dan sudah diumumkan jauh hari. Anak SMP ini pulang cepat, makan, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke sekolah untuk mengikuti ekstra bulutangkis itu. Bisa dibayangkan betapa hebohnya momentum persiapan itu, bukan? Benar, mulai dari mengambil nasi, makan, mencuci piring-sendok, menganti pakaian bulutangis, memilih dan mengenakan sepatu, dan lain-lain. Alhasil, jam satu kurang lima menit barulah dia siap berangkat. Sampai, ... keluarlah sungut-sungut itu. 
     Anak SMP ini rupanya lupa kalau memastikan jam ekstra bulutangkis, menyimpan lembar informasi mengenainya, dan membuat keputusan pulang atau tidak untuk makan adalah murni bagiannya. Bukan orang lain! Ya, termasuk mamanya. Itu masalah terbesar anak ini. Cukupkah dengan mengetahu masalahnya ini? tidak. Sekarang anak SMP itu diuji orientasinya: masalah atau solusi masalah itu. Rupanya anak ini masih emosi sehingga tetap merasa benar dan mamanya salah memberi nasehat. 
     Secara teoritik, sikap anak SMP ini merugikan karena dia akan terseret ke efek bola salju masalah utamanya: menyalahkan mamanya, menunggu saat yang tepat untuk mendamprat, menyusun kata-kata amarah, menumpahi semua orang yang ada di dekatnya dengan rutuk dan sumpah serapah, dan seterusnya hingga masalahnya bertambah besar, bukan selesai. Apa pun salah dan merupakan masalah di mata anak ini.
     Dengan pengalamannya, papanya mengintervensi situasi negatif itu dengan mengajukan pernyataan: "Masih ada waktu 5 menit, lari saja ke sekolah sekaligus pemanasan." Kakaknya, manambahkan, "Masih untung rumah kita dekat dengan sekolahmu, Dhik, bandingkan dengan teman-temannya yang jauh rumahnya."
     Ya, daripada memusuhi masalah utamanya, lebih baik memberi makna positif dair sesuatu yang masih mungkin didayagunakan, bukan. Lebih dari itu, bersyukur.
Kisah di atas hendak menunjukkan dua jenis orientasi seseorang yang bertolak belakang: masalah atau solusi masalah. Semakin berorientasi masalah semakin besar pula masalah itu. Lebih baik memberi makna positif dan  -lebih-lebih- mensyukuri berbagai anugerah Yesus yang bisa memberi kesejukan hati. Mau melimilih yang mana?

Minggu, 14 Juli 2013

Hubungan Estetika dan Musik



Hubungan Estetika dan Musik

Dalam bukunya (Estetika Musik, Max5mdia, Salatiga, 20013, h 60-64), Mianto Nugroho agung menyatakan bahwa setelah sekilas menengok beberapa bagian filsafat dan kemudian estetika, sekarang sudah seharusnya kembali mengingat bagaimana musik lahir dalam konteks, konstelasi, dan lingkup pembicaraan ini. Sebagaimana kita ketahui, pengetahuan tentang letak musik dalam filsafat penting agar mahasiswa musik sadar akan

a.    jati diri dan identitas musik dalam posisi, relasi, dan kontribusinya bagi ilmu-ilmu lain,
b.    perlunya terus menerus mengembangkan musik secara obyektif, proposional, dan visioner dengan laku filsafat yang mengedepankan aspek berpikir sistematis, tertib, rasional, dan komprehensif,
c.    lingkup (ortodoksi dan otopraksis) ber-musik, sehingga kinerjanya senantiasa dimurnikan karena berada dalam batas-batas penguasaan ilmu yang tegas, jelas, dan mantap,
d.    tuntutan profesionalitas dalam berpsikologi, terutama pada aspek etikanya.

Kelahiran musik sebagai ilmu yang otonom diyakini juga dari filsafat. Ini agak meloncat dan menyederhanakan sejarah panjang musik. Namun ada benarnya, oleh karena pada zaman dahulu, dalam kaitannya dengan musik hingga abad 18, hanya ada satu ilmu yaitu filsafat. Apalagi jika diingat filsafat pada dasarnya merupakan induk dari segala ilmu.

            Untuk memetakan musik dalam pohon filsafat guna mengetahui hal ihwal musik memang harus diperjelas apa yang dimaksud. Sebab, terdapat beberapa aspek musik dalam hal ini, yaitu:

a.    Alat-alat musik yang diciptakan untuk dimainkan sekaligus cara memainkannya.
b.    Sejarah musik, yakni sekitar waktu kelahiran dan waktu-waktu puncak hal ihwal musik, pengelompokan musik (tradisional, Barat, Non-Barat, dll.)
c.    Ilmu musik (=musikologi, yaitu proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas musik, serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang dikaji). Atau biasa dipahami sebagai ‘proses pembelajaran, penelitian dan refleksi atas musik, serta memiliki konteks bidang yang jelas; musik sebagai subjek yang dikaji.’

Mianto Nugroho Agung juga menegaskan bahwa musik jelas bagian dari karya seni. Karya seni jelas mengusahakan keindahan di dalamnya. Keindahan yang didatangkan di dalam karya musik tentu bukan tanpa motif atau bahkan interes  komposernya.  Dapat dipastikan ada motif, proses keratif, dan ekspresi dalam pembuatan karya musik. Begitu juga dengan pengalaman estetik/keindahan, yang sudah pasti dialami baik oleh composer ketika menulis lagu, penyaji/penampil ketika mengekspresikan komposisi, maupun apresiator yang menonton atau mendengarkan lagu itu. Jadi memang di dalam satu komposisi yang diekspresikan terdapat tiga aspek yang menjadi obyek material estetika, yaitu: hakekat keindahan dalam musi itu, motiv dan proses produksi karya musik itu, dan pengalaman keindahan stakeholder-nya. Karena itu pada tempatnya jika muncul cabang pengetahuan berupa Estetika Musik dari Axiologi dan kemudian Estetika.

Sekarang mari kita kembali ke Bab 1 kembali untuk mengingat dan memastikan ihwal Estetika Musik ini lebih jauh. Jika hendak merunut ‘dari mana’ lahirnya Estetika Musik, maka dapat diuraikan sebagai berkut: Setelah manusia diciptakan, mereka memasuki proses ‘menjadi’ (to be) yang membedakan mereka dari ciptaan lain. Dalam perjalanan proses ‘menjadi’ itulah manusia mengalami berbagai persoalan yang menuntut akal budinya untuk menghasilkan jawaban yang kadang bernilai praktis dan kadang bernilai abstrak. Oleh karena keterbatasan akal budinya, manusia jatuh ke situasi yang sulit untuk mendapatkan jawaban rasional. Maka, mereka mengandalkan jawaban pra-akal. Lahirlah masa-masa mitologi yang bersandar pada hal-hal yang tak terjangkau oleh akal.

Kehidupan manusia dengan mitos-mitos di sekitarnya hingga saat ini masih sering dihadirkan, terutama ketika manusia tidak mengoperasikan akal budi dan hati nuraninya dengan efektif. Telah kita ketahui pada sekitar 600 tahun sesudah masehi Thales melakukan proses demitologisasi sehingga jawaban atas segala pertanyaan manusia ditemukan hingga ke tingkat arkhe. Inilah saat kelahiran filsafat.

Dengan ‘moda’ filsafat dan kemampuan berpikir yang semakin baik, lahirlah empat cabang filsafat, yaitu: Filsafat Pengetahuan, Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan, Filsafat Nilai-nilai dalam Tindakan, dan Sejarah Filsafat. Dari Filsafat Pengetahuan berkembang berbagai –kelompok- ilmu: ilmu alam (natural science), ilmu sosial (social science), ilmu budaya (cultural science), ilmu humaniora (humanistic science), ilmu agama (religious science), ilmu teknik informatika (informatics technique science), dan seterusnya. Namun, sebelum itu, filsafat telah berkembang dan muncul pengelompokan: ontologi (filsafat tentang ada), epistemologi (filsafat tentang bagaimana ada didekati/diperlakukan), dan aksiologi (filsafat nilai dan kegunaan ada). Dalam dan melalui kelompok aksiologi inilah berkembang estetika (filsafat keindahan alami) dan etika (filsafat moral).

Berdasarkan obyek materialnya, Mianto Nugroho Agung juga menegaskan, Estetika kemudian berkembang menjadi Estetika Sastra, Estetika Tari, Estetika Rupa, Estetika Drama, dan Estetika Musik sesuai dengan obyek materialnya, yaitu sastra, tari, rupa, drama, dan musik.  Setelah estetika dalam arti generiknya (filsafat keindahan alami) beroperasi, baru diketahui potensi pengembangan definisi, makna, dan sasarannya atau apapun terma yang mencerminkan/ mengindikasikan obyek materialnya. Maka, kemudian lahirlah jenis-jenis estetika berdasarkan obyek-obyek materialnya itu. Misalnya, berdasarkan ‘tertib ontologisnya’ (=bentuk pemikiran dan tindakan yang lebih bersifat formal, resmi, dan teratur) estetika musik dibedakan menjadi 1) Estetika Musik Tradisional, 2) Estetika Musik Klasik, dan 3) Estetika Musik Kontemporer (Modern).

Akhirnya, Mianto Nugroho Agung menyimpulkan jika ‘musik’ secara historis muncul sejak manusia secara sadar menghasilkan bunyi sedemikian rupa sehingga senilai musik sejak awal (telusurilah sejarah musik purba, pen) dan berkembang menjadi musik tradisi (pra Gregorian, sebelum 590), dan berlanjut hingga masa musik modern Gregorian (590), maka estetika beroperasi jauh sebelum kelahirannya yang dibidani oleh Baumgarten (1935). Artinya, estetika musik setidaknya juga seumur dengan estetika kalau tidak –bahkan- lebih dahulu mengingat musik yang menjadi obyek material telah lama ada.



Selasa, 15 Mei 2012

KOS PUTERI MURAH SALATIGA DEKAT UKSW

Kos murah di Kemiri belakang UKSW Salatiga? Benarkah? Semurah apa? Ini yang menjadi pergumulan keluarga ketika mengetahui tidak semua mahasiswa di Salatiga berasal dari keluarga mampu. Pada 2005 ketika rata-rata kosan di seputaran Kemiri seharga Rp 200 ribu, kami menawarkan Rp 115 ribu dengan beragam fasilitas: kamar standar lengkap dengan mebelair, kasur sandwich, listrik 900 watt, mini toko kebutuhan sehari-hari, jemuran, dapur, fasilitas hiburan, gerbang terpisah dan jam malam ketat, serta jarak ke UKSW cuma 100-an meter. Kini (2012) ketika harga kosan rata-rata seharga Rp 300 ribu kami mematok harga terendah Rp. 125 ribu dengan varian tertingi 175 ribu. Ketika ada komplain dari kosan lain mengenai harga murah ini, kami meyakinkan bahwa ini harga balas budi karena saya pernah dibesarkan Salatiga hingga sarjana. Bukan murni profit oriented. Lagian, ini lab kewirausahaan bagi kami sekeluarga sekaligus sarana belajar karakter orang lebih luas. Alhasil, banyak suka ketimbang duka dari 'usaha' ini. Puji Tuhan dari semula puluhan kamar kini berlipat dua dengan penghuni yang santun, toleran, ramah, dan rendah hati. Sampai kini alumni sering sekadar mampir untuk legalisir, test pegawai, atau berkangen ria. Ada lho yang berjodoh saat kos di rumah kami, ha ha ha ... O,ya, namanya MIRAKEL KOS, KIOS, dan SANGGAR SENI. Berminat?

Kamis, 27 Oktober 2011

BALADA I NYOMAN MINTA, WNI YANG TAK KENAL SBY

Mianto Nugroho Agung

Kejadian aneh tapi langka baru saja kita saksikan: seseorang tua renta berseragam hijau-hijau digelandang aparat NKRI yang berpakaian preman. Aneh, sebab sang kakek pasti bukan 'musuh' yang terlalu kuat untuk pasukan pengamanan kunjungan RI-1. Aneh, sebab kejadian itu ditayangkan secara telanjang oleh TV dan diulas luas oleh media massa sampai-sampai Kapolda Bali I Made Mangku Pastika meminta media untuk tidak membesar-besarkan masalah ini. Langka, karena pengamanan kunjungan RI-1 yang mencapai 3 lapis/ring bisa ditembus oleh seorang kakek tua renta. Penggede aparat menyatakan petugas pengamanan lengah karena menengadah melihat materi atraksi saat itu. Itu belum apa-apa, sebab kakek I Nyoman Minta belakangan mengaku tidak tahu ada acara besar yang melibatkan presiden. Lebih lagi dan lagi, kakek kita ini menyatakan tidak mengenal SBY yang presiden Indonesia ini. Dari peristiwa ini dapat ditelaah beberapa hal. Bukan bermaksud menyalahkan.
  1. Pertama, pihak hotel patut diduga tidak memberikan sosialisasi program kunjungan itu secara menyeluruh kepada seluruh pihak yang menjadi tanggung jawabnya hingga pegawainya tidak tahu ada acara besar melibatkan presiden RI.
  2. Kedua, soal 'tak kenal Pak Beya itu', seharusnya menjadi bahan permenungan dan refleksi kita bersama. Ada problem serius bukan jika seorang setua kakek itu tidak kenal presidennya?
  3. Ketiga, secara politis, ada semacam lubang besar yang memisahkan rakyat dari elit negaranya. Apapun alasannya. Politikus harus tertegur dengan adanya peristiwa ini dan menjadikannya bahan evaluasi untuk lebih mendekatkan diri ke rakyat.
  4. Keempat, perlu evaluasi mendasar terhadap sistem, strategi, dan taktik pengamanan petinggi NKRI lebih-lebih presiden sehingga tidak disalahgunakan oleh teroris. 
  5. Kelima, pemberdayaan media dan pola relasional antara media dan pemerintah perlu lebih baik sehingga sosialisasi program pemerintah melalui pemberitaan yang proporsional bisa terjadi.
  6. Akhirnya, keenam, kurikulum pendidikan formal Indonesia perlu introspeksi dan berbenah diri untuk kembali menumbukan pengenalan sedalam-dalamnya aspek-aspek penting dari NKRI oleh para siswa dan mahasiswa. Kali ini yang tidak dikenali adalah SBY, lain kali NKRI!

Minggu, 23 Oktober 2011

"Thomas-Thomas" Masa kini

Mianto Nugroho Agung

Sabtu (22/10, 2011) tetangga belakang rumah meninggal dunia karena hepatitis C positif. Keruan saja kami mengurus ini itu sampai siap begadang menemani tuan rumah. Nah, dalam begadang itulah sering muncul keaslian tetangga-tetangga kita yang mengejutkan. Kalau selama ini ketemuan hanya sesaat dan tegur sapa sekadarnya, maka dalam forum begadang yang durasinya dari jam 21.00 - 04.00  itu sudah pasti dibutuhkan segudang kata-kata untuk melepas kantuk. Nah, dalam begadangan Sabtu malam kemarin, berloncatanlah kata-kata itu dari kami masing-masing. Ya, macam-macam topiknyalah: SBY yang tidak bisa memberi harga sembako murah, tentara yang semakin berat tugasnya, sulitnya mengikuti sidang tilang, tetangga yang selingkuh, teman yang jatuh, rakyat yang akomodatif terhadap tst alias 'damai kaus'  sampai ke soal beberapa tetangga sejemaat dengan saya yang belakangan malas ke gereja apa lagi mengikuti acara-acara keagamaan. Sebagai majelis gereja mereka, saya memiliki kewajiban mengetahui apa alasan mereka. Memang selama ini telah kami lakukan berbagai upaya mendekati dan menyadarkan mereka akan pentingnya aktif begereja dalam hidup beragama Kristen. Malam itu masing-masing memberi alasan yang kurang lebih sama, yang dikemukakan dalam ilustrasi menyesatkan: seorang pendeta yang tidak pernah minum dan mabuk seharusnya minum dan mabuk sebelum kotbah tentang 'jangan mabuk'. Orang kedua berkata, "Jangan hanya pandai berteori sebelum menjalani. Jangan melarang saya berjudi sebelum tahu seluk beluk judi." Dan, yang terakhir mengatakan bahwa temannya seorang tokoh agama lain yang bermaksud mengingatkan jemaatnya untuk tidak jatuh ke perselingkuhan komersial. Untuk menguatkan kotbahnya, tokoh itu pergi ke lokalisasi dahulu. Seorang Kristen lainnya, bukan sejemaat dengan kami berempat, menyatakan bahwa semua orang di Indonesia sudah sama-sama buruk, apa bisa gereja mengubahnya? "Buktinya, sampai saat ini gereja tidak bisa berbuat apa-apa!"
Nah, ketika saya tunjukkan analogi ilustratif 'untuk menunjukkan bahwa setiap orang bakal mati bukankah pendeta tidak perlu mati dahulu, untuk mengingatkan agar hati-hati berkendaraan agar tidak celaka kan tidak perlu celaka dahulu, untuk mengetahui bahwa api panas kan tidak perlu membakar diri atau setidak-tidaknya menyundut diri dengan rokok nyala, bukan' barulah mereka mengangguk-angguk. entah apa maksudnya. Praktik keberagamaan demikian merupakan tipe empirik yang memperlakukan agama seperti ilmu pengetahuan empirik. Menjalankan laku bergama a la Thomas si murid Yesus yang baru akan percaya jYesus telah bangkit dari kubur ika sudah mencucukkan tangannya di luka Yesus. Syukurlah belakangan Thomas berubah pikiran meski tidak kesampaian mencucukkan tangannya ke luka Yesus. Bagaimana mungkin jemaat menuntut pendetanya mati dahulu, mabuk dahulu, selingkuh dahulu, celaka dahulu sebelum berkotbah tentang hal-hal semacam itu? Inilah Thomas-Thomas masa kini yang saya maksudkan. merek aumumnya sok ilmiah dan pro-empirisme beragama. Janganlah kesombongan diri sebagai yang terpandai mengganggu proses menjemaat dan menggereja kita dalam hidup keberagamaan kita. Ada hal-hal lebih tinggi dan kudus dalam kehidupan beragama dan karena itu tiak empiris. Masalahnya, anda berminat manjadi anggota Thomas-Thomas masa kini? Rekrutmen keanggotaan dibuka lebar oleh Lucifer yang kebingungan hendak menghapus postingan tulisan ini ... "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." (Yohanes 20:29b).

Kamis, 20 Oktober 2011

Occupy Wall Street Jadi Kunci Kotak Pandora

Mianto Nugroho Agung

Occupy Wall Street (OWS)  adalah sebuah gerakan massa grassroot di Amerika Serikat dalam berbagai bentuk: demo, pendudukan asset bursa effek Amerika Serikat, penggalangan opini, dll. Gerakan ini diinspirasi oleh kenyataan bahwa hanya 1% orang saja yang menerima manfaat kebijakan keuangan negara dan mengorbankan 99% lainnya. Krisis ekonomi yang dahsyat diyakini akan dialami AS untuk pertama kalinya setelah didahului oleh beberap a negara di Eropa (Yunani, Swiss, Denmark, dll.). Krisis dianggap bakal lebih dahsyat dari tahun 2008 karena yang terancam bangkrut bukan lagi perusahaan transnasional melainkan pemerintahan. Mengingat fakta "1% mengabaikan 99%" sangat tidak kristiani (ingat Yesus yang mencari seekor domba yang hilang dari 100 domba kumpulannya?), mengancam eksistensi manusia dan peradabannya, dan membahayakan publik, maka OWS langsung menginspirasi dan memotivasi terjadinya gerakan yang sama  di mana-mana di seluruh penjuru dunia. Pelajaran berharga yang seharusnya dipetik adalah betapa tamaknya 'Tuan Satu Persen' itu, betapa bodohnya pemerintahan yang hanya mengabdi "Tuan Satu Persen' itu, dan "betapa rapuhnya ikatan si Tuan Sembilan-sembilan Persen". Apa agenda gerakan perjuangan OWS yang lebih 'bijaksana'? Mari kita usulkan ke mereka jika sudah kita temukan. BTW, bukankah kita ternyata adalah bagian dari "Tuan Sembilan-sembilan Persen" itu, ya? Ya, setidaknya sampai terbukti kalau kita ternyata bukan bagian dari si Tuan 99% itu!

Jurnalisme Transaksional dalam Berita "SBY plesir di Lombok"

Mianto Nugroho Agung

Meski tidak semua yang 'transaksional' itu berkonotasi negatif, namun ketika ia dipadukan dengan kata lain sehingga menjadi 'politik transaksional', 'begereja secara transaksional', 'partai transaksional', kata itu memang betul-betul langsung bisa menunjukkan makna negatip. Bagaimana jika menjadi 'jurnalisme transaksional'? Sebagai paham pemberitaan yang seharusnya jujur, berpihak pada fakta, dan netral maka kata jurnalisme bukanlah ideologi maupun ideologis melainkan paham dalam arti sebenar-benarnya. Dan, ketika menjadi 'jurnalisme transaksional' maka jatuh ke dalam makna, hakekat, dan filosofi 'dagang' murni alias mencari untung mulu. Jurnalisme transaksional dengan demikian paham pemberitaan yang hanya 'melayani' dan berorientasi pada pasar dengan segala pengertiannya. Saat pasar menuntut berita sumir, gosip, dan 'ursuan domestik' mulu, maka semua media massa mengemas beritanya menjadi demikian. Maka, ketika SBY yang sebenarnya pergi ke Lombok untuk meresmikan Bandara Internasional baru di sana dan bertemu secara informal dengan petinggi Malaysia lalu di sela-sela itu mengunjungi pantai, yang dieksploitasi hanya kunjungan ke pantai-nya saja. Inilah transaksionalnya! Salahkah? Ha3x ...