Kamis, 29 September 2011

KIOS INSPIRASIONAL: PINTU SRAWUNG

Pada tanggal 30 Januari 2009 keluarga saya memutuskan membuka kios yang menjual kebutuhan sehari-hari anak kos kami. O, iya, beberapa tahun ini kami  memang menyewakan 14 kamar yang tidak sengaja kami buat saat merenovasi rumah kami. Selain tujuan mendapatkan tambahan finansisal, kedua usaha ini memungkinkan kami untuk bergaul lebih luas. Oleh karena itu usaha ini kami sebut sebagai 'Pintu Srawung' alias pintu bersosialisasi. Dengan kios ini setidaknya terdapat hal positif yang bisa kami petik, yaitu:

1. Lebih sering didatangi dari pada mendatangi. Kalau dahulu kami harus menghitung-hitung banyak hal untuk srawung dengan tetangga sekitar, kini justru kami yang didatangi mereka. 
2. Aliran informasi lebih deras dan beragam. Kalau dahulu dengan berbagai rasa sungkan kami harus mencari informasi sekitar siapa yang sakitkah, siapa yang meninggalkah, siapa yang bakal menyelenggarakan hajatkah, siapa yang melahirkankah, dan berbagai informasi 'remeh' semacam itu, kini tanpa kami minta informasi itu 'mendatangi' kami. Selain lebih cepat, juga lebih beragam sumber. Sehingga, tingkat kebenarannya lebih terandalkan. Kalau perlu proses check & recheck bisa kami lakukan.
3. Proses silaturahmi lebih intensif. Kalau dahulu ketemuan dengan tetangga selain jarang juga kalau bisa bertemu, hanya sebentar saja. Itu pun banyak basa-basinya. Kini kami bisa lebih sering ketemu, lebih mendalam membahas sesuatu masalah, lebih beragam topik pembicaraan, lebih banyak yang terlibat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kami bisa hapal tenang segala-sesuatunya isi-A, si-B, si-C, dan sebagainya. 
4. Meningkatnya fungsi rumah kami dari sekadar rumah tinggal menjadi pos serba guna. Sejak di Jawa Timur, sesuai dengan karakter masyarakatnya yang sangat terbuka, pintu rumah kami selalu terbuka saat kami tidak tidur atau bepergian. Saat itu kami hanya dapat angin dan karena itu masuk angin ketika pintu kami kami buka. Kalau ada tamu, belum tentu sehari satu. Dari pada pintu terbuka percuma lebih baik kami manfaatkan buka kios. Nah, ini untungnya, ketika sudah ada kios, rumah kami jadi tempat kumpul, membahas masalah kehidupan, barter informasi, dan bahkan tempat melakukan konseling pastoral kilat. Karena tertib buka dari jam 5 pagi dan baru tutup jam 10 malam maka kios kami sangat diandalkan konsumen kami. Bahkan di jam-jam rawan itu keserbagunaannya meningkat. 
5. Kami -terutama anak-anak kami- jadi lebih memahami realitas lokal sehingga proses berempati terhadap kesulitan sesama meningkat dan tepat.
6. Kualitas dan kuantitas srawung kami meningkat sangat pesat dan positif serta signifikan. Sebagai pendatang baru di Salatiga (1992), banyak hal yang masih perlu kami pelajari. Kalau hanya mengandalkan srawung formal (pertemuan KK, rapat pengurus RT, begadangan, dolan, dll.) maka hanya permukaan saja yang kami peroleh. Padahal, banyak hal yang berbeda antara budaya Jawa Salatiga dan budaya Jawa Malang/Trenggalek tempat kami suami isteri berasal. Dengan kios kami ini, gelontoran informasi kebudayaan dan bahkan ekspresi praksis masyarakat Salatiga langsung bisa kami jumpai. Itu semua gratis dan datang dengan sendirinya ke rumah kami. 
7. Meningkatnya hubungan-hubungan di antara kami. Ya, baik kami dengan tetangga, tetangga dengan sesama tetangga, maupun agen-agen hubungan lain yang memungkinkan terlibat: anak-anak kos, tamu-tamu luar kampung, sanak keluarga yang datang berkunjung, pemasok komoditas dagangan kami, dll.
Masih ada banyak keuntungan yang kecil-kecil, namun pendeknya, dengan frase 'Pintu Srawung' saya harap cukup menggambarkan betapa interaksi, hubungan, dan relasi baru bisa dibangun sedemikian rupa sebagai 'keuntungan' sosial yang harganya sudah barang tentu lebih mahal dari pada laba riil kios kami. Keuntungan sosial yang tentu bakal tak terbeli sampai kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar